![]() |
Info Peduli Jepara |
Bila sempat menonton Kartini (2017),
film besutan Hanung Bramantyo, kita dapat gambaran bagaimana sang gadis
bangsawan Jepara berikut dua adiknya tak sebatas memperjuangkan nasib kaum
perempuan Hindia Belanda. Dalam satu babak, ketiga putri belia diperlihatkan
meninggalkan halaman rumah pingitan, menemui para pengrajin ukiran kayu jati.
Pada masa kehidupan Kartini,
yaitu di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, komunitas pengukir jati masih
terkonsentrasi di Kampung Blakang Gunung, Kecamatan Jepara. Begitulah menurut
Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Panggil Aku Kartini Saja. Sekalipun
demikian, hasil kriya yang semula hanya dihargai di lingkup kecamatan kecil
dalam selang waktu satu setengah abad kemudian dapat ditemukan di berbagai
belahan dunia.
Oleh karena andil besarnya,
Pramoedya menahbiskan pula Kartini sebagai ‘maesenas’ atau pelindung bagi para
seniman rakyat. Trinil —panggilan kecil sang putri— menulis serangkaian artikel
berbahasa Belanda yang memromosikan seni ukir kayu Jepara. Namun, lebih jauh
dari itu, ia tekun membina sejumlah kelompok pengrajin.
Di sebelah Pendopo Kabupaten
Jepara hari ini kita dapat menemui satu ruangan yang pernah disediakan Kartini
bersaudara sebagai bengkel kerja bagi para pengrajin tersebut. Di bengkel kerja
itulah Kartini menciptakan motif lunglungan bunga yang dikembangkan lebih
lanjut oleh para pengrajin binaannya.
Buah karya para artisan ini
lantas dipasarkan sang pengayom ke Batavia dan Semarang melalui pelbagai
kesempatan pameran dan pemberian contoh barang di kalangan sahabat asingnya.
Setelah dipotong biaya angkutan, laba penjualan diserahkan sepenuhnya kepada
para pengrajin.
Ada pula perempuan trah biru lain
yang dianggap berperan penting dalam perkembangan seni ukir setempat, yaitu
Ratu Kalinyamat (masa pemerintahan 1549-1579). Putri ketiga Sultan Trenggana
yang semasa kecilnya bernama Retna Kencana ini dipandang sebagai tokoh yang
menumbuhkan seni ukur Jepara yang khas, ketika ia merangkul pengaruh gaya
Tionghoa dalam seni ukir bergaya Majapahit.
Pengaruh Tionghoa ini dibawa
Patih Cwie Wie Gwan atau Chi Hui Gwan, seorang seniman ukir sekaligus ayah
angkat Sultan Hadlirin, suami sang ratu sendiri. Selanjutnya dikenal sebagai
Kiai Sungging Badarduwung, kita dapat menemukan makam sang patih berdekatan
dengan pusara sang ratu dan sang sultan di kompleks Masjid Mantingan.
Masjid di Desa Mantingan,
Kecamatan Jepara, tersebut dibangun Ratu Kalinyamat sekitar tahun 1550,
berdasarkan catatan sejarawan Denys Lombard. Dinding depan masjid dipenuhi
lajur-lajur ukiran padas karya Patih Cwie Wie Gwan.
Menurut Sartono Kartodirdjo dkk,
ukiran tumbuhan tersamarkan pada dinding masjid mirip pola yang ada di Candi
Panataran dan beberapa candi lain. Namun, Lombard menilai ukiran kuat
mengandung unsur pengaruh budaya Tionghoa, seperti dari motif daun seroja dan gunung
berkarang tegak lurus. Ia pun mengutip Kartini yang berkunjung ke rumah ibadah
ini pada Maret 1902 dan mengagumi ukiran marmer yang dalam dugaannya “berasal
dari China”.
Di sisi lain, Lombard juga
melihat pengaruh nyata stilis dari budaya Islam pada hasil nukilan. Teknik
menatah kayu seperti ini, menurutnya, bertahan di Pulau Jawa hingga abad ke-20
di daerah pesisiran yang paling dulu diislamkan, seperti Sidoarjo, tetapi
terutama di Demak, Kudus, dan Jepara. Pada pendapatnya, pengaruh Islam
mengedepankan konsep individu. Dengan kata lain, karya seni beranjak dari
bangunan besar publik (semacam tempat ibadah atau keraton) ke perkakas
sehari-hari yang dibutuhkan setiap orang.
Bakda era Kartini, seni ukir kayu
Jepara terus berkembang dalam proteksi penguasa wilayah. Pemerintah kolonial
Belanda memrakarsai Openbare Ambachtsschool, sekolah pertukangan untuk
umum yang memperkaya ragam hias motif Majapahit, Mataram, dan Pajajaran dengan
unsur-unsur dari Barat dan India.
Pada 1932, Bupati Jepara dan
Bupati Rembang membentuk Jepara’s Houtsnijwerk en Meubelmaken, perusahaan
daerah yang menampung lulusan dari sekolah tersebut. Sayangnya, hanya dalam
selang waktu empat tahun, perusahaan bangkrut sampai-sampai peralatan ditebus
seorang peranakan setempat, Liem Hoo Gwan, sebagai modal awal pendirian usaha
serupa.
Abdi praja di Jepara di awal masa
kemerdekaan selanjutnya mendirikan Pemuda (Perusahaan Mebel Ukir Djepara Asli),
MURID (Mebel Ukir Rakjat Indonesia), dan Lembaga Seni Ukir. Sekolah pertukangan
di masa kolonial dihidupkan kembali sebagai Sekolah Teknik Pertukangan.
Kini bayangkan masa pertengahan
1950an. Lahan pertanian di Jepara mulai menyempit dan industri kerajinan kain
tenun troso bangkrut. Saat itulah pertama-tama terjadi peralihan cukup banyak
petani dan penenun Jepara menjadi pengrajin mebel dan ukiran kayu. Alhasil,
selama dekade 1970an, klaster industri mulai merambah hingga mencakup Kecamatan
Jepara, Kedung, dan terutama Tahunan. Namun, hingga 1979 pun hanya 2% warga
kabupaten tercatat bergerak di sektor industri —70% penduduk masih bekerja di
sektor pertanian.
Produk mebel kayu Jepara mulai
intensif merambah pasar internasional di akhir 1980an. Sebuah perhelatan
khusus, Jepara Handicraft Exhibition, terselenggara di Bali pada 1989 atas
ide Menteri Pariwisata dan Pos Telekomunikasi Soesilo Soedarman. Jepara lantas
diramaikan oleh sejumlah misi perdagangan mebel dan kerajinan kayu dari luar
negeri, termasuk penjajakan pendirian beberapa unit usaha di kabupaten itu.
Wilayah industri sudah meluas ke
Kecamatan Mayong, Batealit, Mlonggo, Bangsri, Keling, dan Pecangaan menginjak
tahun 1990. Konsentrasi usaha berskala menengah dan besar telah beralih ke
Kecamatan Mlonggo. Nilai produksi industri mebel kayu Jepara pun meningkat
50,90% per tahun, diiringi kenaikan permintaan tenaga kerja 32,27% tiap tahun,
selama periode 1983-1997.
Ledakan ekspor mebel dan ukiran
kayu Jepara benar-benar pernah terjadi pascakrisis ekonomi Asia, khususnya
selama 1997 dan dua tahun berikutnya. Krisis tersebut, secara paradoks, membawa
berkah tersendiri bagi sektor industri Jepara. Kegiatan ekspor produk olahan
kayu turut meredam dampak krisis regional pada perekonomian setempat ketika
ribuan pekerja di sektor pertanian Jepara terserap ke sektor industri mebel dan
kerajinan kayu. Padahal, pada saat yang sama, gelombang pemutusan hubungan
kerja justru menyergap berbagai wilayah lain di Indonesia.
Produk olahan kayu pada titik ini
sudah sangat beragam, mengikuti tren selera pasar. Di tahun 1999, di Jepara
telah dikenali sekitar 450 jenis motif dari semula hanya empat motif di akhir
1970an. Apa yang semula seni kerajinan tangan telah memasuki babak
industrialisasi.
Namun, puncak ekspor mebel dan
ukiran Jepara pada 1999 dan 2000 sesungguhnya lebih merupakan dampak dari nilai
tukar dolar AS yang tinggi pada saat itu. Nilai mata uang rupiah anjlok hingga
melampaui Rp14.000,00 per dolar AS pada 1998. Produk Jepara yang dikenal
sebagai produk berbahan java teak atau bahan kayu jati bermutu tiba-tiba
tersedia dengan harga murah.
Seiring permintaan yang tiba-tiba
meroket, produk mebel dan ukiran Jepara mulai membanjiri pasar global. Namun,
kecepatan memasok barang ini tidak selalu dapat diimbangi mutu produk yang
diharapkan pasar. Akibatnya, reputasi Jepara sebagai penghasil mebel dan
kerajinan kayu bermutu sempat terciderai.
Ketika kurs rupiah mulai stabil,
ongkos produksi mulai terasa membebani. Selisih keuntungan mengecil. Hal ini
terutama dipicu kian langkanya bahan kayu jati berdiameter besar dan tua —yang
padat, keras, dan kering. Reputasi produk kayu bermutu yang jatuh turut
menyebabkan penurunan tajam permintaan produk Jepara dari luar negeri dan nilai
ekspor pada 2001.
Sekalipun nilai produksi sektor
industri pengolahan Jepara berangsur membaik, tingkat pertumbuhannya cenderung
stagnan sejak 2000 akibat persaingan yang kian ketat. Di tingkat global, pemain
baru seperti Tiongkok dan Vietnam menawarkan produk dengan biaya produksi jauh
lebih rendah dibandingkan di Indonesia. Di lingkup nasional, klaster industri
kayu pesaing mulai terbangun di Klaten, Sukoharjo, Sragen, dan Yogyakarta.
Jumlah pelaku industri setempat,
yang sempat mencapai 5.000 unit pada 2010, terus menyusut. Saat ini hanya
tersisa 700-1.200 unit usaha kecil, menengah, dan besar. Infiltrasi
penanaman modal asing sebaliknya terus terjadi di Jepara. Tercatat 15 PMA baru
masuk sepanjang 2016 dari Taiwan, Tiongkok, dan Korea Selatan. Mereka bersaing
dengan PMA Eropa yang sudah lama berkecimpung di wilayah ini.
Dalam arena pasar global yang
dikemudi oleh persaingan bebas, seleksi terjadi secara alamiah. Sekalipun
banyak di antara baik pemain lama maupun baru yang memetik untung, tak sedikit
usaha bertumbangan. Terlebih-lebih, industri mebel dan kerajinan kayu Jepara
lebih bertumpu pada budaya ekonomi bazar yang lebih banyak mengikuti pesanan
dari pihak pembeli, dibandingkan berupaya membangun merek sendiri. Hal ini,
menurut Gustami, sejalan dengan kebiasaan mayoritas pengrajin Jawa untuk
membuat karya berdasarkan permintaan khusus sejak pertengahan abad ke-19.
Industi mebel dan kerajinan kayu
Jepara yang eksis saat ini tidak selalu dapat disamakan dengan seni ukir
kayunya yang jauh lebih tua. Seni dan tradisi ukir Jepara dulu berkembang
karena didukung kemelimpahan jati di alas roban di Jepara dan
sekitarnya (Rembang, Grobogan, Pati, Kudus, dan Blora). Sebaliknya, produk
industri kayu Jepara sejak 1980an telah mengembangkan ceruk pasar domestik dan
pasar luar negeri dengan karakteristik khas masing-masing, yang terbentuk
sekitar isu kelangkaan bahan baku kayu jati.
Pasar domestik terutama menampung
produk mebel interior, sementara pasar luar negeri lebih pada distribusi produk
mebel eksterior. Mebel eksterior atau mebel kebun pada awalnya hanya terbuat
dari jati jawa yang sudah kadung kondang di seantero dunia perkayuan. Rangka
bangun mebel cenderung lurus dan berat. Balok-balok berpotongan bersih,
hampir-hampir polos tanpa ukiran.
Kebutuhan bahan kayu jati Jepara
—kini 1.500-1.800 meter kubik per hari— terutama dipasok Perum Perhutani. Namun,
pasokan bahan jati menjadi sangat terbatas setelah penjarahan kayu secara
intens dari lahan hutan Perhutani selama 1998-2001. Dengan semakin langkanya
bahan kayu tersebut, pengrajin Jepara mulai beralih pada alternatif kayu sengon
laut, sungkai, nyatoh, atau keruing. Belakangan keran impor kayu dibuka dengan
fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) untuk menghasilkan produk
berbahan kayu eik dan mapel.
Saat ini juga telah diperkenalkan
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dengan dokumen V-Legal yang diharapkan
mendorong UKM membangun merek produk hijau di pasar ekspor. Namun, kerangka
kerja sama yang dibangun berbasis SLVK baru ada antara Indonesia dan Uni Eropa,
yaitu melalui Forest Law Enforcement, Governance, and Trade – Voluntary
Partnership Agreement (FLEGT VPA). Melalui kesepakatan ini, produk mebel
Indonesia diharapkan lebih mudah memasuki pasar Uni Eropa via jalur hijau (greenline).
Kesepakatan serupa belum terwujud
dengan negara lain mana pun sementara SVLK telah diberlakukan bagi industri
furnitur untuk memasuki seluruh negara tujuan ekspor. Tidak mengherankan bila
pelaku UKM menilai dokumen V-Legal pada dasarnya belum memberikan nilai tambah
bagi mereka di negara tujuan ekspor lainnya.
Terlebih lagi, dokumen V-Legal
tidak menjamin UKM memperoleh akses lebih mudah untuk memperoleh bahan kayu
jati bermutu baik dari Perum Perhutani. Perlu diingat bahwa perum tersebut
termasuk salah satu pelaku industri besar yang berorientasi ekspor mebel
eksterior.
Menyangkut mebel interior, kita
akan menemukan jauh lebih banyak jenis produknya. Sebagian berstruktur besar
dan kaku seperti yang dapat kita temui pada rak buku dan lemari baju. Namun,
banyak pula yang langsing dan lentur: dari pigura kaca sampai meja kopi, dari
kursi malas sampai alat permainan congklak.
Produk dapat berornamen atau
berukiran lebih rumit. Gaya etnik Jawa, replika antik oriental, replika antik
kolonial, rustik, klasik, maupun kontemporer adalah beberapa yang dapat
disebutkan di antaranya.
Mebel interior Jepara dapat
menggunakan kayu jati bermutu paling tinggi hingga paling rendah, meskipun kini
pasar domestik cenderung berat ke segmen lebih bawah, sesuai daya beli sebagian
besar pembeli. Lagipula, bahan kayu jati bermutu bagus sebagian besar kini
terserap untuk produksi berorientasi pasar ekspor.
Untuk mengatasi kendala produksi,
pengrajin Jepara telah mencoba menjelajahi pasokan jati dari luar Jawa,
meskipun mutu kayunya tetap tak sebaik jati jawa dan perlu ongkos angkutan yang
tinggi. Cara lain adalah mengirit penggunaan bahan jati dalam produk. Rencek
dan tunggul akar yang sebelumnya dibuang, kini diolah menjadi karya-karya
kreatif. Limbah serbuk jati didaur ulang menjadi papan partikel kayu.
Mebel interior relatif tidak
banyak terpapar perubahan cuaca di luar ruangan. Dengan demikian, jenis kayu
yang dipakai untuk produk kini tidak perlu sebatas jati. Pengrajin Jepara telah
memanfaatkan kayu dari hutan rakyat semacam mahoni, sengon laut, trembesi,
sonokeling, dan mindi, atau bahkan kayu kampung seperti duren, mangga, dan akasia
mangium. Kayu sonokeling, tiger wood (jamur kayu), rotan, dan logam
sering dipadukan sebagai aksen bahan kayu utama.
Pasar domestik mebel kayu Jepara
sudah terbangun jauh lebih lama, melalui jejaring toko di berbagai kota. Oleh
karena itu, permintaan pasar domestik sebetulnya lebih stabil dan risikonya
lebih rendah. Namun, gempuran produk impor dari Tiongkok, Vietnam, Malaysia,
dan Swedia saat ini terus melemahkan pasar dalam negeri untuk produk Jepara.
Harga produk impor lebih bersaing, desainnya lebih simpel dan modern, bahannya
cenderung ringan dan cocok untuk ruang tinggal yang kian mengecil.
Desain produk Jepara justru masih
berkembang lamban, cenderung menyerap desain yang lebih dulu dipasarkan ke luar
negeri, dan terus berkutat dengan isu-isu produksi, terutama penyediaan bahan
baku kayu. Hampir 80% usaha mebel di Jepara ditengarai gulung tikar sejak 2010.
Tidak mengherankan bila Harian Kompas di awal 2017 menurunkan laporan
tentang tanda-tanda meredupnya industri yang menyerap jutaan pelaku usaha skala
kecil dan menengah ini.
Industri mebel dan kerajinan
Jepara tampaknya memerlukan dobrakan baru, bila ingin bertahan. Seperti di
saat-saat awal seni menatah kayu ini ditemukan kembali oleh trio Kartini,
Kardinah, dan Roekmini.
***
Rujukan:
Gustami, SP. 2000. Seni
Kerajinan Mebel Ukir Jepara. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Lombard, Denys. 1996. Nusa
Jawa: Silang Budaya. Kajian Sejarah Terpadu. Bagian II: Jaringan Asia (Le
Carrefour Javanais. Essai d’histoire globale. II. Les réseaux asiatiques). Winarsih
Arifin dkk. (penerj.). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Lombard, Denys. 1996. Nusa
Jawa: Silang Budaya. Kajian Sejarah Terpadu. Bagian III: Warisan
Kerajaan-Kerajaan Konsentris (Le Carrefour Javanais. Essai d’histoire globale.
III. L’heritage des royaumes concentriques). Winarsih Arifin dkk.
(penerj.). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pujianto, S.A., dkk. (peny.).
1999. Sejarah dan Perkembangan Seni Ukir Jepara. Jepara: Pemerintah
Kabupaten Daerah Tingkat II Jepara.
Soepratno. 2000. Ornamen
Ukir Kayu Tradisional Jawa. Edisi Kelima. Semarang: EFFHAR.
Toer, Pramoedya A. 1997. Panggil
Aku Kartini Saja. Jakarta: Hasta Mitra.
Widyastuti, Ratna Sri. 2003.
“Kabupaten Jepara”. Dalam: Tim Litbang Kompas (peny.). Profil Daerah
Kabupaten dan Kota: Jilid 3. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Hayati, Chusnul, dkk. 2000.
“Perkembangan Peran Wanita dalam Kegiatan Ekonomi pada Seni Ukir di Jepara
1990-1997”. Laporan Penelitian. Semarang: Fakultas Sastra, Universitas
Diponegoro.
Indrahti, Sri, dkk. 1996. “Struktur
Kota Lama Jepara dan Prospek Pengembangannya: Studi Sejarah Perkotaan”. Laporan
Penelitian. Semarang: Pusat Penelitian Sosial Budaya, Universitas Diponegoro.
Sugiyarto. 1999. “Pengaruh
Industri Meubel Kayu/Ukir terhadap Kesempatan Kerja: Studi Kasus di Kabupaten
Jepara”. Tesis. Yogyakarta: Program Studi Magister Ekonomika Pembangunan,
Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Gadjah Mada.
Sumartono, Anton. 1997.
“Desain Ukir Jepara: Kajian tentang Kreativitas Seni pada Masyarakat
Perajin Ukir Kayu Jepara”. Tesis. Jakarta: Jurusan Antropologi, FISIP,
Universitas Indonesia.
=====
Kompas. 21 Januari 2017.
“Pasokan Kayu Jadi Kendala Industri Mebel Lokal.”
Kompas. 27 Maret 2017.
“Industri Mebel Terpuruk: Sebanyak 2,1 Juta Orang Terancam Menganggur.”
Kontan.co.id. 28 Maret 2017.
“Di Abu Dhabi, Menperin Pamerkan Insentif Industri” <http://industri.kontan.co.id/news/di-abu-dhabi-menperin-pamerkan-insentif-industri>.
Merdeka.com. 18 Maret 2017.
“Ini Cara Perajin Furnitur Jepara Atasi Kelangkaan Bahan Baku” <https://jateng.merdeka.com/industri/ini-cara-perajin-furnitur-jepara-atasi-kelangkaan-bahan-baku-170318b.html>.
Penulis: Ridza M M Aziz (Staf
Lembaga Sosial Peminat sastra, sains populer, sejarah)
Sumber artikel: https://www.qureta.com/next/post/seni-menatah-kayu-jepara-dalam-lorong-waktu-2
Bagus 5banget tulisannya
BalasHapus