Sejarah Sunan Kalijaga Mencari Kayu ke Desa Guyangan, Papasan, Kedungleper dan Bondo Untuk Mendirikan Masjid Agung Demak
Info Peduli Jepara |
Asal-usul nama desa di Kecamatan Bangsri berasal dari cerita yang berkembang di masyarakat. Cerita ini didapatkan dari wawancara dengan narasumber dan diperkuat dengan ditemukannya dokumen berupa arsip desa dan babad desa yang ditulis oleh Sumarno Rahardjo (1971) dalam kumpulan bahan sejarah yang dikumpulkan oleh Lawrence M. Yorder yang dikeluarkan oleh Komisi Sejarah Gereja GITD Pati pada tahun 1977 M. Cerita-cerita di Kecamatan Bangsri selalu didasarkan atas seorang tokoh yang dihormati. Bukti dari sisa-sisa cerita seorang tokoh tersebut berupa pesarean atau punden yang terdapat di setiap desa. Berikut asal-usul nama desa di Kecamatan Bangsri
Cerita Suronggotho
Cerita Suronggotho merupakan
cerita tokoh bernama Suronggotho yang mengejar Dewi Wiji untuk dijadikan
istrinya. Cerita ini banyak berkembang di masyarakat bahkan dipentaskan dalam
pementasan ketoprak. Cerita Suronggotho ini membentuk penamaan desa tidak hanya
di Kecamatan Bangsri, tetapi juga penamaan beberapa desa di Kecamatan Kembang.
Dalam penamaan di Kecamatan Bangsri,
cerita Suronggotho berpengaruh dalam pembentukan tiga nama desa, yakni Desa Bangsri,
Desa Wedelan, dan Desa Banjaran. Berikut cerita Suronggotho dalam penamaan Desa
Bangsri, Desa Wedelan, dan Desa Banjaran:
Kisah asal-usul Desa Bangsri
berasal dari nama Ki Ageng Gede Bangsri, yakni santri atau murid Sunan Muria
dan dekat dengan Sunan Kudus. Nama aslinya ialah Syekh Ahmad Yasin. Karena
pengaruhnya yang sangat besar ia kemudian disebut sebagai Ki Ageng Gede
Bangsri. Konon karena kedekatan Ki Ageng Gede Bangsri dengan Sunan Muria
membuat saudara seperguruannya yang bernama Suronggotho iri. Rasa iri timbul dikarenakan
Sunan Muria lebih mempercayakan Ki Ageng Gede Bangsri untuk berdakwah (01/K/B/30082018).
Karena merasa dianak tirikan oleh
Sunan Muria, kekesalan yang dimiliki Suronggoto dilampiaskan dengan cara
mencintai Dewi Wiji, anak Ki Ageng Gede Bangsri. Suronggotho tetap memaksa Dewi
Wiji untuk menjadi istrinya dan menolak semua alasan yang disampaikan oleh Dewi
Wiji. Karena Dewi Wiji ketakutan, akhirnya dengan berbagai cara Dewi Wiji
mencoba untuk melarikan diri. Ketika Suronggotho tahubahwa Dewi Wiji melarikan
diri, akhirnya Suronggotho mengejar Dewi Wiji. Terjadilah kejar-kejaran antara
Suronggotho dengan Dewi Wiji. Dalam perjalanan melarikan diri, sampailah Dewi
Wiji di rumah Ki Wedel yang pekerjaannya membuat kain berwarna-warni. Dewi Wiji
berharap mendapatkan perlindungan, dan akhirnya Ki Wedel menyembunyikan Dewi
Wiji. Setibanya Suronggotho di rumah Ki
Wedel, Ki Wedel memberikan nasihat kepada Suronggotho. Suronggotho tidak terima
dengan nasihatdari Ki Wedel hingga akhirnya terjadilah perkelahian antara
Suronggotho dan Ki Wedel. Ki Wedel yang sudah tua pun terbunuh. Tempat
terbunuhnya Ki Wedel kelak dinamakan Desa Wedelan.
Melihat perkelahian antara
Suronggotho dan Ki Wedel, Dewi Wiji terus berlari dan sampai di rumah Ki
Banjar. Ki Banjar merupakan salah satu sahabat Ki Ageng Gede Bangsri. Dewi Wiji
meminta Ki Banjar menyembunyikan dirinya dari kejaran Suronggotho. Maka dengan
senang hati Ki Banjar menyembunyikan Dewi Wiji dikebun belakang rumahnya.
Sesampainya Suronggotho di
rumahnya Ki Banjar, Ki Banjar menolak untuk memberi tahu keberadaan Dewi Wiji.
Akhirnya terjadi perkelahian yang sangat sengit, hingga akhirnya Ki Banjar
tewas. Ketika perkelahian sedang berlangsung Dewi Wiji kembali lari ke arah
utara. Akhirnya daerah tempat tinggal Ki Banjar tersebut dinamakan
DesaBanjaran.
Cerita Suronggotho mengisahkan
asal-usul tiga desa di Kecamatan Bangsri, yakni Desa Bangsri, Desa Wedelan, dan
Desa Banjaran. Ketiga penamaan desa tersebut didasarkan atas cerita masyarakat
yang berkembang (terlepas dari makna yang melingkupi dan kondisi lingkungan di
desa tersebut). Namun, jika melihat makna yang melingkupi kata dalam nama desa
dan kondisi lingkungan di desa
tersebut maka dapat diasumsikan sebagai berikut.
Cerita Desa Guyangan
Ada dua kisah terkait asal-usul
Desa Guyangan. Kedua cerita ini memiliki kesamaan, yakni pada asal-usul kata
guyangan yang berasal dari Bahasa Jawa guyang yang artinya menyiram.
Kisah pertama dari Ki Ronggo
Kusmoyudo yang terkenal memiliki kesaktian tinggi. Ki Ronggo Kusmoyudo
merupakan Senopati Perang pasukan perang yang dipimpin oleh Warok Singoblendeng
dalam tugas mempertahankan Jepara dari pasukan Belanda. Perang ini terjadi pada
tahun 1645 M. Namun, pasukan Warok Singoblendeng diporak-porandakan oleh
pasukan Belanda sehingga membuat pasukan tersebut menyebar dengan tujuan untuk
mempersiapkan kembali pasukan untuk melakukan perang gerilya. Ki Ronggo
Kusmoyudo memiliki kuda yang diberinama Turonggoseto. Kuda Turonggoseto
memiliki peran yang sangat besar bagi Ki Ronggo Kusmoyudo, sehingga kuda
tersebut dirawat secara khusus oleh Ki Ronggo Kusmoyudo. Setiap pagi kuda ini
selalu dimandikan atau diguyangi dalam bahasa Jawa oleh Ki Ronggo Kusmoyudo di
sendang bawah pohon besar. Dari kebiasaan guyang ini lah daerah tersebut
dinamakan Guyangan.
Kisah kedua berasal dari seorang
perempuan bernama Nyi Kinarsih. Nyi Kinarsih dikenal memiliki ilmu gaib yang
ditakuti oleh warga disekitarnya. Ia tinggal sendiri di suatu wilayah. Karena
memiliki banyak ternak, ia sering memandikan ternak tersebut di sebuah sendang.
Kegiatan memandikan ternak ini dalam bahasa Jawa disebut guyang. Sebelum muksa,
ia berpesan agar tempat memandikan hewan tersebut dinamakan Guyangan.
Cerita Babat Hutan
Cerita babat hutan ini merupakan
cerita pembukaan lahan atau wilayah baru yang semula wilayah itu merupakan
hutan yang tidak berpenghuni. Cerita babat hutan dalam sejarah berdirinya
desa-desa di Kecamatan Bangsri ada pada sejarah berdirinya Desa Papasan, Desa
Kedungleper, dan Desa Bondo. Berikut asal-usul penamaan Desa Papasan, Desa
Kedungleper, dan Desa Bondo:
Desa Papasan
Desa Papasan dahulu merupakan
sebuah hutan belantara. Datanglah seorang pengembara bernama Mbah Serni, Mbah
Sarojoyo, dan Mbah Sampan yang berasal dari Solo. Awalnya mereka membuka hutan
untuk dijadikan lahan pertanian.
Lambat laun wilayah tersebut
menjadi sebuah perkampungan yang akhirnya membentuk sebuah desa. Karena posisi
desa berada di ujung dan berbatasan langsung dengan hutan dan tidak ada desa
lagi, maka desa itu dinamakan Desa Papasan.
Desa Kedungleper
Berdirinya Desa Kedungleper
dikisahkan dari seorang pengembara bernama Lukman Hakim Loko Joyo, teman satu
perguruan Syekh Ahmad Yasin atau Ki Ageng Gede Bangsri. Melihat hutan yang
tidak jauh dari tempat tinggal Ki Ageng Gede Bangsri yang belum berpenghuni,
Lukman Hakim Loko Joyo merasa tertarik untuk menghuni kawasan tersebut meskipun
kawasan tersebut tidak banyak sumberair. Lukman Hakim Loko Joyo yakin bahwa jika
wilayah itu dikelola dengan baik akan mampu menghasilkan wilayah yang subur.
Hal itumembuat Lukman Hakim Loko Joyo memohon izin dari Tuhan Yang Maha Kuasa
untuk melakukan babat hutan dan membuat area persawahan dan tegalan yang luas.
Wilayah tersebut pun menjadi subur dan menghasilkan hasil pertanian yang dapat
dijual ke masyarakat di dukuh lain. Akhirnya, wilayah tersebut cepat berkembang
dan penduduknya semakin berkembang.
Namun ketika musim kemarau tiba,
kebutuhan air tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini membuat
Lukman Hakim Loko Joyo prihatin dan akhirnya melakukan tirakat secara khusus
untuk memohon petunjuk pada Tuhan Yang Maha Esa. Setelah beberapa hari
melaksanakan tirakat, Lukman Hakim Loko Joyo mendapatkan bisikan gaib untuk menancapkan
tongkatnya di tengah-tengah kedung yang kering tidak jauh dari rumahnya. Dengan
penuh keyakinan, Lukman Hakim Loko Joyo menancapkantongkatnya dan tiba-tiba
mengalir air yang cukup besar sehingga kedung yang kering itu dipenuhi air
hingga rata. Dari kedung yang penuh airnya ini menjadi sebuah sungai. Akhirnya,
masyarakat menamai wilayah ini dengan nama Kedungleper.
Desa Bondo
Penamaan desa-desa di Kecamatan
Bangsri tidak semuanya berasal dari bahasa Jawa. Ditemukan penamaan desa di
Kecamatan Bangsri yang berasal dari bahasa asing, yakni penamaan Desa Bondo
yang berasal dari bahasa Belanda
Sejarah berdirinya Desa Bondo
berasal dari seorang tokoh bernama Luhut Gunowongso yang mendapatkan mimpi
bertemu orang tua yang menyuruhnya membuka hutan di sebelah utara Jepara. Luhut
Gunowongso ditemani delapan orang mulai berjalan ke arah utara wilayah Jepara.
Setelah menemukan tempat yang dirasa cocok, akhirnya mereka mulai membuka hutan
tersebut. Peristiwa pembukaan lahan itu pada tahun 1860 M bertepatan dengan
tanggal 15 purnama. Namun, sebulan setelah membuka hutan justru keluar mata
air, sehingga mereka memutuskan pindah ke daerah perbukitan di sebelah Timur.
Mendengar kabar bahwa sahabatnya
sudah membuat pemukiman baru, Kiai Ibrahim Tunggal Wulung yang berasal dari
Kediri menyusul Luhut Gunowongso. Kiai Ibrahim Tunggal Wulung merupakan
penyebar Injil dari Kristen Kerasulan yang berada di Jepara atas ajakan Pendeta
Pieter Yanz. Namun karena ketidakcocokan dengan Pendeta Pieter Yanz, Kiai
Ibrahim Tunggal Wulung beserta istrinya Endang Sampurnawati serta keluarga
Kobis yang berasal dari Juana menyusul Luhut Gunawongso.
Sesampainya di daerah yang dibuka
oleh Luhut Gunawongso, Kiai Ibrahim Tunggal Wulung merasa tidak enak dengan
Luhut Gunwongso. Ia merasa malu bahwasanya secara tiba-tiba menikmati hasil
kerja keras sahabatnya. Akhirnya Kiai Ibrahim Tunggal Wulung meminta izin
kepada sahabatnya itu untuk menebang hutan di sebelah utara tempat Luhut
Gunawongso.
Pada tahun 1870, Luhut Gunawongso
meninggal dunia dan dimakamkan di Cumbring. Luhut Gunawongso meninggalkan enam
orang anak, yakni Kalimin, Duwok, Simbuh, Sipin, Karno, dan Kadir. Mendengar
kabar kematian Luhut Gunawongso, Kiai Ibrahim Tunggal Wulung kemudian pindah ke
padukuhan yang sudah dibuka oleh Luhut Gunawongso.
Konon, hampir 10 tahun padukuhan
tersebut dibuka, pemukiman tersebut belum dilaporkan kepada pemerintah Jepara
sehingga Wedana Banjaran, Tjitro Projo merasa perlu untuk melihat pemukiman
tersebut dan menemui Kiai Ibrahim Tunggal Wulung. Tjitro Projo bertanya pada
Kiai Ibrahim Tunggal Wulung, bahwasanya siapa yang menyuruh dia membuat
pemukiman, Kiai Ibrahim Tunggal Wulung menjawab bahwa Ia sendiri lah yang
membuka hutan untuk membuat pemukiman. Jawaban tersebut membuat Tjitro Projo
kurang suka, sehingga TjitroProjo menanyakan, “apakah Kau ratu?”. Pertanyaan
itu dijawab oleh Kiai Ibrahim Tunggal Wulung, “Ya. Saya ratu dan hamba saya
adalah istri dan keluarga saya.” Akhirnya Tjitro Projo menyuruh Kiai Ibrahim
Tunggal Wulung untuk tidak menggunakan caranya sendiri, sebab ada pemerintah
yang mengatur.
Pertemuan tersebut dilaporkan
oleh Tjitro Projo kepada Bupati Jepara, Citrosomo. Citrosomo merasa perlu untuk
memanggil Kiai Ibrahim Tunggal Wulung. Citrosomo pun menanyakan hal yang sama
yakni awal membuka hutan tersebut. Namun jawaban Kiai Ibrahim Tunggal Wulung
pun sama dengan laporan Tjitro Projo. Akhirnya Bupati Jepara, Citrosomo
mengajari cara menjawab pertanyaan tersebut jika nantinya disidangkan. Hal ini
agar Kiai Tunggal Wulung bisa mendapatkan izin untuk menempati daerah tersebut.
Akhirnya pemerintah mengizinkan pemukiman baru tersebut untuk ditempati. Karena
sikap dan cara menjawab Kiai Tunggal Wulung, maka daerah tersebut diberi nama
Bondo yang maknanya adalah bondantanpa ratu, ngetepeng tanpa tinandur, yang
artinya kekayaan tanpa ada yang menguasai, pohon ketapang tanpa ada yang
menanam. Makna yang terkandung dalam ungkapan ini yakni seseorang yang
dihormati tanpa menguasai atau dikuasai oleh orang lain, tiba-tiba menjadi
seorang yang pandai tanpa guru. Namun masyarakat ada yang mengartikan
bahwasanya kata bondo berasal dari kata dalam bahasa Belanda, yakni boundjauren
yang memiliki arti harta yang kelimpahan. Karena lafal Jawa, kata tersebut
diucapkan olehmasyarakat bondo [mbondho]. Pada tahun 1885 Ki Ibrahim Tunggal
Wulung meninggal dan dimakamkan 100 meter di sebelah barat rumahnya. Kini
tempat dimakamkannya Ki Ibrahim Tunggal Wulung menjadi pemakaman Kristen
Tunggal Wulung.
Tidak diketahui pasti siapa orang Belanda yang memberikan sebutan
boundjauren untuk menyebutkan wilayah Bondo. Namun, diimplikasikan bahwa kata itu
muncul sekitar tahun 1870 M ketika wilayah Desa Bondo dilaporkan kepada pemerintah
Kabupaten Jepara. Tahun 1870 M negara Indonesia masih dijajah oleh negara
Belanda. Kabupaten Jepara merupakan salah satu pusat perdagangan terbesar pada
zaman itu, hal ini didasarkan atas pelabuhan yang ada di Jepara. Melihat
wilayah Desa Bondo yang subur dan memiliki kekayaan alam yang melimpah,
diimplikasikan penjajah pada zaman itu menyebut wilayah tersebut dengan sebutan
boundjauren yang artinya harta yang kelimpahan. Oleh masyarakat, akhirnya
disebut dengan nama Desa Bondo.
Cerita Desa Jerukwangi
Nama Jerukwangi diambil dari buah
yang banyak tumbuh di pedukuhan ini, yaitu buah jeruk wangi. Konon dulu ada
sebuah lahan luas di sebelah Utara desa ini. Di tanah yang luas itu hanya ada
pohon Jeruk wangi. Ciri khas desa dengan banyaknya pohon jeruk wangi membuat
masyarakat sekitar menamai padukuhan ini dengan nama Jerukwangi. Pemberian nama
jerukwangi ini juga memiliki sebuah harapan kepada wilayah tersebut. Pemberian
nama jerukwangi memiliki harapkan bahwa wilayah tersebut bisa seperti jeruk
wangi, yang selalu mewangi.
Cerita Perjalanan Sunan Kalijaga
Cerita ini mengisahkan tentang
perjalanan Sunan Kalijaga mencari soko guru atau tiang untuk mendirikan masjid
Demak. Cerita ini merupakan cerita sejarah berdirinya Desa Tengguli. Tengguli
berarti tanggulnya wali, yakni sebuah tanggul yang dibangun oleh Sunan Kalijaga
semasa pencarian kayu jati untuk soko guru masjid Demak.
Konon, diceritakan Sultan Fatah
bersama para wali membahas rencana pendirian masjid Demak. Pada saat itu, Sunan
Kalijaga mendapatkan tugas untuk mencari sebuah soko guru atau tiang utama
penyangga masjid. Selain Sunan Kalijaga, terdapat juga tiga Sunan lain yang
mendapatkan tugas serupa, yakni Sunan Ampel menyiapkan tiang sebelah tenggara,
Sunan Gunungjati tiang sebelah barat daya, Sunan Bonang tiang sebelah barat
laut, dan Sunan Kalijaga menyiapkan tiang sebelah timur laut.
Sunan Kalijaga berjalan ke arah
utara, yakni lereng gunung Muria, dikarenakan di daerah tersebut terdapat hutan
jati yang sangat luas. Dalam perjalanannya mencari kayu jati yang cocok, ia
menemukan mata air yangairnya sangat jernih. Pada saat itu hari sudah siang,
sehingga Sunan Kalijaga memutuskan untuk mandi di mata air itu. Oleh
masyarakat, mata air itu dinamakan Kedung Sunan. Setelah mandi, Sunan Kalijaga
membuat gubuk kecil untuk salat. Karena Sunan Kalijaga yakin tempat tersebut
akan menjadi permukiman, Sunan Kalijaga dibantu oleh Mbah Kemproh dan Mbah
Kutho membuat tanggul atau bendungan di sungai tersebut. Dengan harapan
bendungan tersebut dapat menyediakan air wudu bagi siapapun yang ingin
melaksanakan salat.Tanggul tersebut terletak di sebelah barat masjid. Konon
oleh masyarakat tanggul itu dinamakan Tanggul Wali. Dari nama Tanggul Wali
inilah diyakini asal-usul nama Desa Tengguli.
Desa Banjaragung
Desa Banjaragung merupakan desa
baru, yakni pecahan dari Desa Banjaran. Desa ini berdiri pada 11 September
2006. Desa Banjaragung memiliki makna desa banjar yang besar. Maksudnya ada
sebuah harapan dengan dipisahnya Desa Banjaragung dari Desa Banjaran dapat
membesarkan wilayah desa Banjaragung.
Komentar
Posting Komentar