Info Peduli Jepara |
Bagi para bapak-bapak, pos ronda
pasti sudah tidak asing lagi dan menjadi tempat berkumpul masyarakat sekitar
hingga menjadi tempat saling bertukar pikiran. Sejatinya, pos ronda memanglah
tempat para warga berkumpul untuk menjaga keamanan suatu daerah. Tentunya untuk
mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Namun, kenangan hanya sebatas
angin berlalu. Banyak dari kita yang melupakan tempat ini. Lupa memerhatikan
keberadaannya, seolah ditelan bumi. Beberapa di antara kita mungkin juga sudah
mengabaikan keberadaannya.
Padahal, keberadaan pos ronda
sangatlah bermanfaat. Sepanjang berdirinya bangunan pos ronda, terbentang
panjang sejarah Indonesia. Mulai dari masa keraton Jawa, kolonialisme Eropa,
penjajahan Belanda, hingga sekarang.
Masa Keraton Jawa: Menunjukkan Kekuasaan Raja
Pada mulanya, pos ronda tidak
berfungsi seperti sekarang, yaitu sebagai benteng pertahanan teritorial suatu
daerah. Mengutip buku Penjaga Memori: Gardu di Perkotaan Jawa (2007),
karya Abidin Kusno, pos ronda dibuat untuk menunjukkan kuasa raja pada masa
Keraton Jawa sebagai pusat kosmos.
Masa Kolonialisme: Garis Batas
Pos ronda mengalami perubahan
fungsi tatkala VOC datang ke Indonesia. Pengupayaan hegemoni VOC atas kerajaan
zaman dahulu melemahkan kuasa kerajaan, termasuk pula keraton Jawa.
Pelemahan ini dilakukan dengan
penyempitan daerah secara administratif. Garis batas antar kampung dan desa pun
semakin jelas. Di sinilah pos ronda berperan sebagai garis batas antar daerah.
Keamanan tiap kampung dipimpin
oleh kepala kampung dari masing-masing kampung. Orang-orang direkrut untuk
membantu kepala kampung dalam menjaga pertahanan kampung. Nah, di pos ronda
inilah tempat mereka menjaga kampung.
Selain di kampung dan desa, pos
ronda juga hadir di dekat jalan raya. Pos ronda berlangsung selama masa
Gubernur Jenderal Daendels memimpin pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan
sepanjang 1.000 kilometer.
Saat itu, Daendels membuat pos
ronda di setiap interval tertentu Jalan Raya Anyer-Panarukan. Pembuatan pos
ronda dilakukan untuk mempermudah pengecekan pembangunan jalan, penggantian
kuda kereta pos, dan tempat beristirahat.
Berdasarkan buku Polisi
Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan (2011) karya Marieke
Bloembergen, pada saat kepemimpinan Thomas Stamford Raffles, kepala desa
diperintahkan untuk melakukan berbagai tugas kepolisian.
Pada masa itu, pedesaan merupakan
tempat untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Nah, penjagaan
tersebut dilakukan melalui kegiatan ronda oleh beberapa orang di desa setempat.
Beberapa lama waktu kemudian, pos
ronda diambil alih oleh pemerintah kolonial. Mereka membentuk polisi kolonial
untuk menjaga wibawa pemerintah. Para bandit sosial yang sempat menjamah lahan
milik masyarakat diburu dengan gerakan pos ronda.
Polisi kolonial ingin merebut pos
ronda yang seharusnya milik masyarakat. Namun, keinginan mereka tidak
terwujudkan lantaran kurangnya sumber daya dan faktor-faktor lainnya.
Masa Pendudukan Jepang
Kegagalan pemerintah kolonial
dijadikan pembelajaran oleh pemerintah Jepang. Maka, Jepang membuat sistem yang
lebih rapi dengan memperhatikan aspek ekonomi, finansial, dan budaya.
Dalam segi budaya, Pemerintah
Jepang membentuk Keibodan (barisan pembantu polisi) beranggotakan pemuda
Indonesia untuk menjaga pos ronda. Jepang juga melebur bersama warga sehingga
warga pun merasa akrab dengan mereka.
Namun, Jepang hanya bisa
mengendalikan pos ronda selama 3,5 tahun lantaran anak-anak muda Keibodan
memutus hubungan dengan Jepang. Itu merupakan bentuk dukungan para pemuda atas
kemerdekaan Indonesia.
Masa Orba
Pasca kemerdekaan, pos ronda
mengalami perubahan. Mengutip pendapat Purnawan Basundoro, seorang dosen
sejarah Universitas Airlangga, pos ronda beralih fungsi dari yang awalnya
sebagai garis batas menjadi simbol pemantauan yang terlampau ketat.
Banyak pos dibangun secara tak
menentu di wilayah yang dianggap rawan. Pos tersebut didirikan sebagai salah
satu basis pertahanan militer. Di desa, para tentara ditugaskan untuk menumpas
orang-orang berideologi komunis.
Beranjak tahun 1980-an, pos ronda
tidak lagi dirintis di daerah rawan konflik, seperti Papua, Aceh, dan Timor
Timur. Pos ronda mulai didirikan di daerah perkotaan. Para tentara pun dipindah
tugaskan dan diminta untuk mempertahankan ketertiban dan keamanan bersama
polisi.
Pemindahan basis pos militer ini
dilakukan untuk memperkuat politik ruang Soeharto. Logikanya, langkah ini
mempermudah Soeharto dalam memantau perkembangan politik di lingkungan
masyarakat.
Sekarang, pos ronda sudah diambil
oleh masyarakat. Pos ronda berada di tangan masyarakat setempat, bukan lagi di
pemerintah. Masyarakat bebas menentukan nasib keamanan dan ketertiban mereka
sendiri. Sekaligus sebagai wadah silaturahmi.*
Penulis: Habibah Auni
Sumber: https://www.goodnewsfromindonesia.id/2021/05/12/sejarah-pos-ronda-dari-masa-keraton-jawa-hingga-sekarang
Komentar
Posting Komentar