Info Peduli Jepara |
Obama membawa keluarga berlibur
ke Bali dan Yogyakarta, serta berencana singgah di Jakarta. Mestinya sowan
kepada presiden kita dalam beberapa hari ke muka ya? Mungkin, sebagaimana di
era SBY, Obama akan diterima Presiden Jokowi di ruang Jepara. Déjà vu.
Mengapa ruang penerimaan tamu
kenegaraan ini disebut ruang Jepara? Dalam hal ini, ada andil Ibu Tien yang
—sebagai ibu negara— mendesain interior ruang agar kuat berkesan asli
Indonesia. Pilihannya jatuh pada perangkat meja-kursi dan ragam hias kayu jati ukiran
Jepara. Nuansa serupa kurang lebih hadir di pojok-pojok lainnya di istana
sebelum dikembalikan ke desain klasik Eropa di zaman Megawati, kecuali di ruang
Jepara.
Namun, bukan ruang istana ini
sungguh yang menjadi fokus tulisan, melainkan hal-hal unik berkaitan dengan
keberadaan jati (Tectona grandis sp.).
Berdasarkan kehalusan tekstur dan
keindahan warnanya, kita mengenal jati termasuk jenis kayu mewah. Kayu jati pun
diketahui sangat kuat dan awet serta tidak mudah berubah bentuk oleh perubahan
cuaca. Oleh karena itulah jati tak hanya dikenal sebagai bahan mebel dan
kerajinan, tetapi juga dok pelabuhan, kapal niaga, kapal perang, bantalan rel,
dan jembatan.
Konon para tukang kayu di Eropa
di abad ke-19 meminta upah tambahan bila menangani jati karena kayunya mampu
menumpulkan perkakas dan menguras tenaga mereka. Pada masanya, manual kelautan
Inggris mencakup instruksi untuk menghindari jung Tionghoa yang terbuat dari
jati karena mampu merompal baja kapal marinir mereka saat berbenturan.
Mungkin banyak yang sudah
mendengar istilah dagang java teak, yaitu produk mebel dan kerajinan
berkelas dunia, yang terbuat dari kayu jati hasil Pulau Jawa. Salah satu
varietas jati terbaik memang tumbuh di tanah perkapuran Cepu, Kabupaten Blora,
Jawa Tengah.
Disebut salah satu —sebab jati
tidak tumbuh dan tersebar di Jawa semata. Di negeri kita, ada pula hutan jati
yang tumbuh secara terbatas di Pulau Sulawesi, Pulau Muna, daerah Bima di Pulau
Sumbawa, Pulau Buru, serta Lampung di Pulau Sumatera.
Walaupun java teak pernah
diburu para kolektor, sekitar 70% kebutuhan jati dunia saat ini dipasok oleh
Burma. Sisa kebutuhan dipasok oleh India, Thailand, Jawa, Srilangka, dan
Vietnam. Pasokan permintaan jati global dari hutan alami dipenuhi oleh Burma
semata-mata. Di luar itu, kayu jati berasal dari hutan tanaman.
Hal ini sejalan pemikiran
sejumlah ahli botani yang menilai jati merupakan spesies asli di Burma, India,
Muangthai, dan Laos. Namun, sejumlah ahli botani berpendapat jati merupakan
spesies asli Burma. Baru belakangan spesies ini menyebar ke Semenanjung India,
Muangthai, Filipina, dan Jawa.
Melalui rentang waktu separuh
alaf, jati telah tersebar lebih jauh ke Srilangka, Tiongkok, Bangladesh,
Vietnam, Semenanjung Malaysia, Kalimantan Utara, daerah tropik Afrika, daerah
Oseania Pasifik, Karibia, dan Amerika Latin. Maka, jati —sejatinya— bukan khas
Indonesia, apalagi Jawa.
Jadi, bagaimana sampai spesies
jati tiba di negeri ini? Heyne, sedini 1671, melaporkan keberadaan jati di
hanya beberapa titik di bagian timur Sulawesi, yaitu di Pulau Muna dan
pedalaman Pulau Buton di Teluk Sampolawa. Pada 1817, Raffles mencatat jati
tumbuh subur sebatas di Jawa, Madura, Bali, dan Sumbawa. Perbukitan di bagian
timur laut Bima di Sumbawa penuh tertutup oleh jati pada masa itu.
Raffles menjelaskan bahwa, di
abad ke-15 dan ke-16, hutan jati terdekat dari Jawa hanya eksis di Siam
(Thailand) dan Pegu (kini bagian dari Burma). Dua negeri itu diketahui berniaga
ke Jawa dengan kapal-kapal besar. Ia menduga orang lautlah yang mulai mengimpor
jati —entah dari Pegu atau Malabar (bagian dari India kini).
Oleh karena jarak tumbuh
antarpohon cenderung beraturan, Altma (1922) memperkirakan hutan jati di Jawa
hasil penanaman di akhir era Hindu (abad ke-14 hingga ke-16). Penguasa Jawa
semasa itu memperlakukan jati sebagai pohon suci dan sangat mungkin mengimpor
pohon dari Kelinga, di pantai timur India Selatan, sejak abad kedua.
Rerata pohon jati dalam
komunitasnya mencapai ketinggian 9-11 meter dengan diameter 0,9-1,5 meter.
Sekalipun demikian, pohon ini dapat tumbuh meraksasa selama ratusan tahun
sampai mencapai 45 meter dengan diameter 2,4 meter. Tak heran bila pohon ini
memiliki aura khas hingga banyak ditemukan tumbuh di sekitar candi-candi yang
dipersembahkan bagi Dewa Syiwa.
Namun, Simatupang (2000) menduga
jati dapat menyebar lebih luas berkat campur tangan para petani sekitar candi.
Di tempat-tempat yang tak cocok untuk persawahan di Jawa masa itu, kata
Simatupang, perladangan berpindah lazim dipraktikkan —sebagaimana berlaku di
daerah lain di Indonesia, bahkan seantero Asia Tenggara. Sebelum berpindah
ladang, petani-petani di Jawa kemungkinan menanam bibit jati di antara jenis
pohon lainnya. Budidaya jati termasuk mudah, sedangkan nilai manfaatnya besar.
Oleh karena sesuai dengan iklim kering setempat yang kerap memicu kebakaran,
jati menjadi spesies dominan.
Tegakan jati memang sering
terlihat seperti hutan sejenis; hutan yang seakan-akan hanya terdiri dari satu
jenis pohon. Seakan-akan kita berada di hutan di daerah empat musim. Mengapa demikian?
Daerah beriklim muson begitu
kering. Kebakaran lahan mudah terjadi sehingga mematikan sebagian besar jenis
pohon yang ada. Pohon jati diuntungkan karena termasuk spesies pionir: kulit
kayunya yang tebal tahan kebakaran. Buahnya pun berkulit tebal dengan tempurung
keras. Bila terpapar api, lembaga biji tidak rusak. Tempurung biji yang merekah
oleh api justru memudahkan tunas keluar pada saat musim hujan tiba.
Guguran daun lebar dan reranting
jati yang menutupi tanah melapuk secara lambat. Hal ini menyulitkan tumbuhan
lain berkembang. Serasah pun menjadi bahan bakar peletup kebakaran di mana jati
dapat menyintas, tetapi banyak jenis pohon lain tidak. Kebakaran yang tidak
ekstrem, dengan demikian, justru mendorong proses pemurnian tegakan jati.
Hutan jati tercatat menyebar di
pantai utara Pulau Jawa mulai dari Kerawang hingga ke ujung timurnya pada 1927.
Namun, hutan jati terkonsentrasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tegakan
terbentuk alami oleh kebakaran berkala lahan akibat iklim keringnya.
Kayu dari hutan jati Jawa telah
dimanfaatkan sejak zaman Kerajaan Majapahit. Namun, penggunaan kayu pada
umumnya, hingga masa Perang Dunia Kedua pun, hanya sebagai bahan bangunan. Kayu
terbaik biasanya berasal dari pokok yang berumur di atas 80 tahun, yang bergaris
lingkar besar, yang berbatang lurus dengan sedikit cabang.
Kayu jati ada juga yang digunakan
untuk membangun kapal niaga dan kapal perang. Beberapa tempat yang dikepung
hutan jati di pantai utara bahkan menjadi pusat galangan kapal: Tegal, Juwana,
Tuban, Pasuruan. Galangan terbesar tumbuh di Jepara dan Rembang, menurut
penjelajah Tomé Pires di awal abad ke-16.
Denys Lombard membeberkan bila
VOC pun sempat sedemikian tertarik pada “emas hijau” ini hingga bersikeras
mendirikan loji pertama mereka di Jepara pada 1651. VOC kemudian memperjuangkan
lisensi perniagaan jati melalui Semarang, Jepara, dan Surabaya. Prospek
perdagangan jati dinilai Kompeni lebih cerah dibandingkan perdagangan
rempah-rempah dunia yang sedang mencapai puncaknya waktu itu.
Pada abad ke-19, VOC diberi izin
untuk memanen lahan hutan jati yang cukup luas di Jawa. Selain karena VOC sudah
menguasai teknik penebangan jati yang lebih modern, hal ini sebagai imbalan
atas bantuan militer mereka pada Kerajaan Mataram di awal abad tersebut.
Namun, VOC justru kemudian
berbalik membebani para pemuka bumiputera dengan upeti kayu jati dalam jumlah
yang memberatkan. Para pemuka bumiputera pun berbalik mengalihkan beban
penebangan pada rakyat sekitar hutan jati melalui sistem blandong. Sebagai
imbalan, rakyat akan dibebaskan dari kewajiban pajak lain.
Gelondongan jati jawa hasil upeti
ini kemudian dibawa pulang VOC ke Amsterdam dan Rotterdam. Dari jati jawa
inilah kedua kota pelabuhan ini dibangun menjadi pusat-pusat industri kapal
kelas dunia.
Di pantai utara Jawa sendiri,
galangan-galangan kapal Jepara dan Rembang mampu bertahan hingga pertengahan
abad ke-19. Mereka gulung tikar hanya setelah banyak pengusaha perkapalan
keturunan Arab lebih memilih untuk tinggal di Surabaya. Saat itu pun kapal
lebih banyak dibuat dari logam dan tidak banyak bergantung pada bahan kayu.
Penulis: Ridza M M Aziz (Staf
Lembaga Sosial, Peminat sastra, sains populer, sejarah)
Sumber artikel: https://www.qureta.com/post/jati-jawa-dalam-catatan-kaki-sejarah
Komentar
Posting Komentar