Langsung ke konten utama

Asal-Usul Desa Banyuputih dan Sejarah Perkembangan Islam

 

Info Peduli Jepara

             Asal mula desa Banyuputih tak lepas dari dua tokoh kakak beradik Mbah Golo dan Mbah Gito. Pada suatu ketika Mbah Golo dan Mbah Gito mencari kayu bakar dibawah kemarau yang sangat panas, mbah Golo kehausan lalu Mbah Golo menyuruh adiknya Mbah Gito untuk mencari air minum. Mbah Gito mencari air kepenjuru hutan hingga beberapa jam tidak ditemukan, tiba-tiba Mbah Gito menemukan sumber air berwarna putih seperti susu, bukan putih bening. Kemudian diambil dengan daun talas lalu dibawa dan diberikan kepada kakaknya yakni Mbah Gito. Ketika Mbah Gito disodori air minum yang berwarna putih seperti susu dia marah karena air minum itu menurutnya adalah kotor, saking marahnya daun talas itu diinjak-injak kemudian dikampak oleh Mbah Golo dan keajaiban terjadi ketika daun talas tadi dikampak ternyata tidak mempan sehingga Mbah Golo tercengang kemudian bertanya kepada adiknya Mbah Gito, ”Gito apakah kamu sudah minum?” Mbah Gito menjawab, ”sudah” ,kemudian Mbah Gito disuruh menunjukkan mata air itu.

             Ketika Mbah Gito menunjukkan sumber mata air tersebut tiba-tiba hilang, karena mata air tersebut adalah ghaib, kemudian daun talas yang masih ada sisa-sisanya dijilati olen Mbah Golo, sehingga menjadi sebab keduanya memiliki kesaktian, sehingga mereka memimpin sekelompok orang yang ada dihutan. Mbah Golo dan Mbah Gito memberikan woro-woro pada masyarakat sekitar bahwa desa ini nanti akan di beri nama Desa Banyuputih.

              Karena Mbah Golo dan Mbah Gito memiliki kadekdayaan yang cukup sehingga membuat masyarakat sekitar takut, sehingga pada waktu itu kepemimpinan Sultan Hadirin Mantingan mendengar bahwa Mbah Golo dan Mbah Gito sering membuat huru-hara di desa Banyuputih dan sekitar.

             Ada ulama yang bernama Mbah Imam Ngawi, Mbah Imam Ngawi adalah ulama yang berasal dari Ngawi Jawa Timur untuk berdakwah dan mengabdi di Jepara. Mbah Imam Ngawi berdakwah di desa Banyuputih untuk meruntuhkan Mbah Golo dan Mbah Gito. Berangkatlah Mbah Imam Ngawi dari Jepara menuju Banyuputih dan mendirikan sebuah masjid di Ngawen. Disamping beliau derdakwah juga mau menundukkan Mbah Golo dan Mbah Gito. Kedatangan Mbah Imam Ngawi tidak disukai oleh mereka diwilayah kekuasaan Mbah Golo dan Mbah Gito, sehingga mereka menantang Mbah Imam Ngawi untuk beradu kesaktian.

Setelah terjadi perang tanding Mbah Golo dan Mbah Gito kalah, sehingga mereka mau tunduk pada Mbah Imam Ngawi dan mau masuk ke Agama Islam. Karena sifat keangkuhan masih ada, mereka tidak mau berguru, lalu Mbah Imam Ngawi memanggil guru yang bernama Kyai Mu’tashim yang makamnya berjajar dengan makamnya Mbah Golo dan Mbah Gito dibelakang masjid Lor. Kyai Mu’tashim mendirikan masjid sendiri disebelah utara Desa Banyuputih. Setelah masuk islam dan berguru pada Kyai Mu’tashim, Mbah Golo dan Mbah Gito mau mengabdi pada Kalinyamat yang waktu itu mendirikan pesanggrahan di Siti Inggil Krian setelah menjadi abdi ndalem Kraton Mbah Golo dan Mbah Gito dijadikan sebagai ngrumat jaran.

Menurut Bapak Kyai Muhammad Alfan perkembangan islam di desa Banyuputih sangat pesat pada masa Mbah Imam Ngawi masih hidup. Kemudian karena Mbah Imam Ngawi tidak memiliki keturunan sehingga regenerasi terputus dan hanya mengandalkan santri-santri yang kebetulan pada waktu itu tidak ada yang hebat sampai pada periode pak Nadlirin.

Pada masa periode pak Nadlirin terus mulai berkesinambungan madrasah-madrasah didesa Banyuputih pun mulai berdiri kembali.Keadaan masyarakat ketika madrasah terputus kurang begitu respon terhadap berdirinya madrasah,karena dipengaruhi oleh faktor politik kurang lebih pada tahun 1960-an. Mayoritas orang di desa ini beragama islam,ada yang beragama hindu budha,namun tidak mayoritas. Pada tahun 1966 (pencetusan G3SPKI) masyarakat desa Banyuputih fanatisme terhadap islam NU sangat kuat sekali. Sehingga warga Banyuputih yang waktu itu mengikuti partai komunis betul-betul diusir. Karena perkembangan zaman dan politik fanatisme menjadi memudar, sehingga kegiatan keagamaan tidak begitu semarak, pengajian-pengajianpun tidak banyak yang hadir,

Pada tahun 2000 kegiatan-kegiatan mulai digerakkan kembali khususnya NU pada waktu itu dibentuk kembali, sehingga sedikit demi sedikit mulai syiar kembali. Pada masa sekarang kegiatan sudah tidak sefanatik dulu yang tekun dalam tariqoh tekun dalam dunia tasawuf. Sekarang secara keagamaan desa ini mengalami penurunan. Orang-orang dulu misal puasa dibulan sura hampir semua umat islam mengerjakan, tapi sekarang ini tidak begitu baik romadlon saja banyak yang tidak puasa, kalau zaman dulu tidak puasa romadlon terasa takut, tapi sekarang biasa-biasa saja. Antusias masyarakat untuk melaksanakan ibadah lebih banyak yang dulu meski secara kuantitas memang banyak sekarang. Tapi sekarang kuantitasnya lebih banyak muslim, non-muslim hanya satu dua orang saja, itupun pendatang kristen katholik dari daerah Klaten.

Kebudayaan yang biasa dilakukan didesa Banyuputih ada tahlil, haul sesepuh Mbah Golo dan Mbah Gito, rebana (terbang telon), mitoni (mandi pada waktu usia kandungan 7 bulan), tasmiyah (aqiqah), turun bandulan (medak siti atau ngidak lemah).

Peninggalan desa ini adalah masjid, mata air yang sekarang menjadi situs, karena sudah tidak ada airnya, yang terletak di sebelah utara masjid Lor ada serumbung kecil kira-kira 50 cm/ 1\2m. Diperkirakan disitulah ditemukannya suber air tadi.

 

Komentar