Langsung ke konten utama

Simbolisme Patung Macan Kurung Jepara


Info Peduli Jepara - Sumber Foto jeparagoid

Kota Jepara merupakan kota yang terkenal dengan kerajinan seni ukirnya. Banyak produk yang dihasilkan dari kerajinan ukir Jepara.Bahkan seni ukir Jepara sudah terkenal sampai ke mancanegara dan menjadi produk dengan kualitas ekspor. Hal ini juga dibuktikan dengan banyaknya pengusaha seni ukir di Jepara.Karya seni ukir dan kerajinan yang ada pun sangat beragam, seni ukir yang kemudian juga berkembang menjadi industri kayu olahan (mebel) memang telah menghidupi sebagian masyarakat Jepara. Bahkan seni ukir pun diyakini sebagai “nafas kehidupan” masyarakat Jepara, yang terbukti mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat Jepara dan menempatkan Jepara dikenal di kancah global sebagai kota yang tumbuh dan berkembang dengan kearifan lokal yang terpahat dalam seni ukirnya.

Terlebih lagi karya seni patung macan kurung dipandang sebagai cikal bakal seni ukir Jepara. Dari beberapa penjelasan tokoh seni ukir Jepara, terungkap bahwa seni ukir di Desa Mulyoharjo dimana patung macan kurung berkembang, yang juga merupakan   awal dari tempat terbuatnya karya ukir kayu yang mencirikan kota Jepara. Salah satunya adalah patung macan kurung yang dianggap sebagai patung khas Jepara, sebab tidak ditemukan di kota ataupun daerah lain di Indonesia.

Patung Macan Kurung memiliki ciri khas dengan teknik khusus dan unik dalam penciptaannya, teknik yang dipakai dalam pembuatan patung Macan Kurung ini adalah dengan memahat batang kayu utuh tanpa ada sambungan sedikitpun dalam proses pemahatannya. Selain itu, bentuk Macan Kurung juga sangat khas dan menjadi salah satu ikon penting bagi kota Jepara, hal ini dibuktikan dengan dibuatnya patung Macan Kurung dalam ukuran yang besar di Kecamatan Nalumsari, sebagai gapura batas kota yang menandakan perbatasan antara Jepara dan Kudus. Selain juga berada di kantor kabupaten dan museum Kartini sebagai penanda kekhasan kota Jepara.

Namun keberadaan seni patung Macan Kurung Jepara sekarang ini sudah sangat langka dan sulit ditemukan di galeri-galeri atau showroom pengrajin ukir yang ada di kota Jepara. Selain itu juga sangat jarang pengrajin yang benar–benar mengetahui simbolisme dibalik patung Macan Kurung Jepara. Sedangkan para seniman tua yang mengetahui simbolisme patung Macan Kurung Jepara kebanyakan sudah wafat atau tidak berkarya lagi karena faktor usia.

Beberapa hal yang berkait dengan kedudukan seni patung macan kurung, baik menyangkut makna yang berkelindan dengan aspek penamaan, tata susun, dan wujud, maupun makna yang berhubungan dengan tata nilai dan ajaran, perlu diungkap lewat penelitian. Keberadaan seni patung macan kurung dalam kerangka budaya inilah yang melatarbelakangi ketertarikan peneliti untuk memahami lebih jauh keberadaan seni patung macan kurung. Konsentrasi kajian diarahkan terutama untuk mengungkap latar belakang bentuk dan makna dalam kerangka sudut pandang budaya khas pembuat seni patung macan kurung. Karena itu, bentuk dan makna seni patung macan kurung sebagai salah satu penciri Jepara ini sangat menarik untuk dikupas lebih dalam melalui artikel ini.Konteksnya, memandang seni patung macan kurung sebagai sebuah bentuk budaya (cultural form), yakni artefak yang berisikan wacana representasi diri yang dikerangkai aspek ideografis penggagasnya dan budaya yang melahirkannya.

Dalam perkembangan panjang sejarah Jepara, kota Jepara terbukti telah memberikan warna dalam perjalanan seni budaya Nusantara. Sejak abad VI hingga IX diyakini berdiri sebuah kerajaan besar bernama Ho Ling atau Kalingga, dengan ratu yang dikenal sangat tegas, adil dan bijaksana yang bernama Ratu Shima. Hal tersebut diperkuat dengan yang disampaikan Hadi Priyanto bahwa berdasarkan sumber Dinasti Tang tahun 618-908 M, terdapat kerajaan Ho Ling atau Kalingga dibawah kekuasaan Ratu Shima yang wilayah kekuasannya adalah Jepara hingga Pekalongan. Pernah melakukan hubungan diplomatik pula dengan negeri Cina pada masa dinasti Tang dengan mengirim utusan ke Cina. Dijelaskan pula bahwa masyarakat Jepara pada saat itu sudah mampu menghasilkan perkakas rumah tangga yang terbuat dari kayu dan memahat gading gajah menjadi singgasana Ratu Shima. Hal tersebut menjadi sebuah indikator bahwa sejak zaman kerajaan Kalingga, masyarakat Jepara sudah menggeluti seni ukir dan olahan kayu menjadi perabot rumah tangga.

Sebagai pelabuhan utama di bawah Kasultanan Demak pada masa tersebut, tentulah Jepara menjadi pintu masuk peradaban dari luar yang kemudian terjadi akulturasi budaya, termasuk pada seni ukir atau seni pahat Jepara. Akulturasi budaya Hindu, Arab (Islam), dan Cina sangat terasa dalam karya-karya seniman Jepara, yang kemudian berkembang dengan pengaruh gaya Eropa pada karya seni ukir   Jepara. Namun   keragaman   pengaruh budaya dalam seni ukir Jepara tidak serta merta mengangkat kesejahteraan masyarakat pada masa itu. Saudagar Cina serta orang Eropa sebagai pemilik modal, seolah menjadikan pengukir Jepara hanya sebagai ‘budak’ ekonomi mereka.

Hingga pada masa R.A. Kartini, hal tersebut yang terus berlarut-larut menjadikan pribumi sebagai ‘sapi perah’ demi kemakmuran saudagar Cina dan Eropa yang mampu mempermainkan pasar pengrajin Jepara, menjadi tantangan bagi Kartini. Kartini yang memang memiliki perhatian besar terhadap karya seni ukir masyarakat Jepara, mencoba memunculkan pamor seni ukir Jepara agar permainan harga yang dibuat saudagar Cina dan Eropa dapat dipatahkan, sehingga pengrajin bukan sebagai budak pesanan saja, namun mereka juga mampu menentukan harga hasil karya mereka sendiri.

Bersama adiknya, Rukmini dan Kardinah, Kartini mengirimkan karya- karyanya maupun karya masyarakat Jepara, yaitu masyarakat Belakang Gunung bimbingan Singowiryo dalam pameran   Nasional   di Den Haag tahun 1898. Hasil karya tersebut mendapatkan perhatian khusus dari Ratu Wilhelmina dan Ibu Suri Ratu Emma. Bahkan kepada ketua panitia, Ny. Lucardie, keduanya (Ratu dan Ibu Suri) meminta dibacakan surat pengantar dari Kartini. Kejadian tersebut ditulis di beberapa koran Belanda, salah satunya surat kabar De Roterdamse Courant tanggal 30 Agustus 1898. Keikutsertaan dan keberhasilan Kartini, Rukmini, dan Kardinah menjadikan mereka sebagai putri bangsawan Jawa yang memiliki perhatian terhadap pengembangan kerajinan dan seni, khususnya seni ukir Jepara. Hal tersebut bukan tanpa sebab, menurut Kartini, pengrajin Jepara khususnya pengrajin seni ukir Belakang Gunung memiliki banyak pengrajin yang menghasilkan karya indah dan telah diekspor hingga ke Cina, Eropa, dan negara lain. Namun mereka tetap dalam kemiskinan dan tinggal di rumah-rumah reyot yang terbuat dari bambu dan beratapkan daun nipah. Perlawanan Kartini tersebut berbuah manis, setelah mengikuti pameran di Den Haag, Ratu Wilhelmina memberikan ijin ekspor produk ukir Jepara. Dampaknya produk-produk seni ukir Jepara semakin dikenal luas khususnya seni ukir Jepara karya pengrajin Belakang Gunung yang dibina oleh Kartini beserta adik- adiknya, dan semakin banyak pesanan langsung kepada mereka dengan harga yang tidak lagi ditentukan saudagar Cina ataupun Eropa. Sehingga para pengrajin ukir Belakang Gunung mampu memperbaiki kesejahteraannya.

Salah satu karya unik pengrajin seni ukir Belakang Gunung yang dianggap unik dan laku di pasar ekspor adalah macan kurung. Macan Kurung telah lama dibuat menjadi produk seni ukir Jepara sejak masa Asmo Sawiran, ayah dari Singowiryo. Kemudian dilanjutkan dan menjadi produk unggulan pada masa Singowiryo ketika bekerjasama dengan Kartini. Di samping pula dengan adanya mitos yang berkembang di Jepara, bahwa tatah atau pahat milik pemahat legenda masa Majapahit, benama Sungging Prabangkara, jatuh di daerah Belakang Gunung dan ditemukan oleh Asmo Sawiran. Tatah tersebut kemudian terwariskan pada Singowiryo sebagai anak Asmo Sawiran. Sebab mitos itu pula RA. Kartini menjadikan Singowiryo sebagai pembina seni ukir Belakang Gunung dan menghasilkan banyak mahakarya ukiran yang dikenal dunia.

Dalam perkembangan selanjutnya, macan kurung tetap menjadi produk unggulan bahkan menjadi salah satu ikon kota Jepara. Hal ini dibuktikan dengan pembuatan paatung macan kurung dengan ukuran besar sebagai gapura batas wilayah antara Jepara dan Kudus, tepatnya di daerah Nalumsari. Produksi macan kurung pun tetap menjadi ciri khas seni ukir Jepara hingga generasi ketiga Asmo Sawiran, yatu cucunya bernama Sunardi. Pada masa tersebut kesejahteraan warga Belakang Gunung (untuk selanjutnya disebut desa Mulyoharjo) sudah mulai terangkat. Hampir setiap showroom dan galeri seni ukir memajang produk macan kurung.

Namun, masa kejayaan macan kurung mulai surut setelah generasi ketiga Asmo Sawiran, yaitu cucunya bernama Sunardi meninggal dunia pada tahun 1993. Sedangkan keturunannya tidak lagi membuat macan kurung karena kondisi fisik. Sebagaimana penuturan Suyoto, putra dari Sunardi, menjelaskan bahwa pada awalnya Suyoto masih mengerjakan pembuatan patung macan kurung, namun setelah mengalami kecelakaan dan patah tulang kaki, kini kondisi kakinya saat digunakan untuk memahat pun sudah jauh menurun dibanding masa lampau. Selain itu macan kurung yang dulu pernah dibuatnya, banyak yang tersimpan di gudang. Hal tersebut karena permintaan pasar yang sudah berbeda. Kini Suyoto beralih pada pengerjaan produk mebel yang mudah dalam pemasaran dibandingkan dengan macan kurung. Saat ditanya tentang keberadaan tatah legendaris, Suyoto menjawab bahwa   tatah itu hanya mitos sebab mengerjakan seni ukir itu berdasarkan ketelatenan dan pengalaman, bukan pada tatahnya. Suyoto menambahkan bahwa tatah dari kakek buyutnya, yaitu Asmo Sawiran, kini tidak diketahui keberadaannya. Pernah Suyoto bertanya pada ayahnya (Sunardi) tentang keberadaan tatah tersebut, namun Sunardi justru menjawab bahwa tatah itu sudah usang dan tumpul, serta sudah disertakan saat pemakaman kakek Suyoto, yaitu Singowiryo. Sehingga sejak Sunardi, tatah legendaris itu sudah tidak lagi ada, dan Sunardi menggunakan tatahnya sendiri dalam pengerjaan seni ukirnya, termasuk dalam pengerjaan macan kurung.

Begitu pula dengan keberadaan macan kurung di Mulyoharjo, saat peneliti melakukan observasi di sepanjang sentra ukir Mulyoharjo, peneliti tidak menemui bahkan melihat produk macan kurung dipajang dan dibuat di sana. Namun peneliti menemukan macan kurung yang sudah usang berada di bagian pojok gudang yang nyaris tak terlihat karena tertutupi hasil seni ukir yang lain. Menurut salah satu perajin di desa Mulyoharjo bernama Wagiman, menjelaskan bahwa sudah lama sekali desa Mulyoharjo tidak memproduksi macan kurung. Bukan karena tidak mampu membuat macan kurung karena tekniknya yang rumit. Wagiman menambahkan bahwa semua pengrajin seni ukir di Mulyoharjo siap membuat patung macan kurung dengan model apapun apabila ada pemesan dengan harga yang cocok. Hal tersebut dikarenakan pembuatan macan kurung yang relatif lama, sekitar dua bulan pengerjaan hingga finishing. Apabila digunakan untuk mengerjakan mebel ataupun produk yang sedang laku di pasaran, waktu dua bulan dapat menghasilkan mebel dan produk yang lebih banyak dibandingkan membuat macan kurung. Sehingga dapat dikatakan bahwa kini keberadaan macan kurung di Mulyoharjo hanya nampak sebatas ketika ada pesanan. Para pengrajin di desa Mulyoharjo tidak lagi membuat macan kurung karena tidak laku di pasaran, dan lebih memilih membuat bentuk seni ukir lain yang lebih diminati pasar.

Macan kurung merupakan karya seni tiga dimensional yang terbuat dari sepotong kayu bulat. Tidak terdapat satu bagian pun yang pembuatannya menggunakan teknik tempelan atau kayunya dibelah terlebih dahulu agar dapat memasukan bola, macan, ataupun rantai. Namun kesemuanya merupakan hasil dari satu bahan kayu yang dipahat tanpa adanya tempelan ataupun pembuatannya terpisah. Pada bagian bawah macan kurung, berwujud sebuah sangkar (kurungan). Mengelilingi sangkar terdapat jeruji berbentuk silinder, ada yang silinder pilin maupun silinder diukir, yang memiliki jarak antar jeruji serta ukuran sama persis. Jeruji sangkar disusin vertikal atau berdiri, di atas sebuah dasaran berbentuk bulat dengan penataan memutar dengan jarak yang sama sehingga membentuk ruang yang di bagian dalam sangkar tersebut terdapat macan atau harimau yang dirantai dan diberi pemberat berbentuk lingkaran.

Di atasnya pun terdapat bidang bulat sebagai penutup. Telah menjadi ketentuan bahwa objek utama yang harus ada pada patung macan kurung adalah macan yang dirantai dengan pemberat berbentuk bola di dalam kurungan. Sedang pada bagian atas kurungan terdapat beberapa variasi objek bergantung kreativitas pengrajin atau pesanan dari pembeli bergantung tujuan atau simbolisme yang ingin dimunculkan. Kebanyakan yang ada di atas kurungan adalah sosok burung garuda yang mencekeram ular naga. Namun tidak sedikit yang mengganti burung garuda dengan garuda pancasila, burung elang, ataupun phoenix. Hanya saja saat diganti phoenix, posisi dengan naga tidak mencengkeram, namun berhadapan.

Macan kurung mampu hadir sebagai sebuah bahasa visual yang sarat akan pesan dan nilai. Kehadiran patung Macan Kurung dapat sebagai media untuk mengungkapkan dan menyampaikan pesan, ide, kreativitas, hingga emosi dari penciptanya melalui sebuah pernyataan keindahan dalam ornamentasi yang dihadirkan pada patung Macan Kurung Jepara. Sebagai bahasa visual, macan kurung menggunakan bahasa simbol yang memiliki kandungan makna, sehingga dapat dipahami melalui sebuah analisis tentang kandungan makna yang terdapat di balik bentuk macan kurung Jepara. Melalui simbol tersebut, pengrajin macan kurung ingin menyampaikan nilai-nilai moral atau berusi subuah ajaran, petunjuk, ataupun norma yang ingin disampaikan secara tersirat kepada penghayat karya seni macan kurung Jepara.

Menilik bentuk awal macan kurung yang sederhana saat patung macan kurung dibuat Asmo Sawiran, dan pengembangan bentuk yang dilakukan oleh putranya yaitu Jepara. Dari bentuk awal macan kurung yang sederhana, yaitu macan  (harimau) yang dikurung (dipenjara) dengan pemberat berbentuk bola dan rantai yang mengikatnya pada bagian bawah, dan Garuda atau Elang berada pada bagian atas. Berkembang pada masa Singowiryo dengan tambahan ular naga yang dicengkram oleh burung garuda ataupun garuda Pancasila pada bagian atas, walaupun tak jarang pula naga tersebut melilit melingkar pada empat pilar utama kurungan, seolah menyatu dengan macan yang sedang dikurung dengan bola pemberat berantai yang mengikatnya, dapat terbaca sebagai sebuah bentuk perlawanan budaya (counter culture).

Hal tersebut bukan tanpa dasar, melihat kondisi pada masa itu yang terjajah oleh Belanda (masa Asmo Sawiran) ditambah pula dijajah secara ekonomi oleh Cina pada masa Singowiryo. Seperti disampaikan Kus Haryadi dan Soekarno bahwa karena terjajah, mendorong para pengrajin untuk mengekspresikan perasaannya melalui   cara-cara   alternatif yang lebih aman dalam melakukan bentuk perlawanan.Salah satu bentuk perlawanan yang dimunculkan Asmo Sawiran serta putranya, Singowiryo, adalah melalui patung macan kurung Jepara, yang mensiratkan bahwa bangsa Indonesia harus bangkit dari penjajahan.

Berdasarkan makna di atas, dapat dikatakan bahwa macan kurung berisi pesan tentang nilai-nilai anti kolonialisme.Sikap anti kolonialisme harus tertanam dalam jiwa bangsa Indonesia.Selain itu, patung macan kurung juga merupakan bentuk perlawanan budaya (counter culture), dan ingin mendudukkan lagi legalitas budaya Jawa sebagai sesuatu yang adiluhung dan bersifat dinamis meskipun budaya asing yang dianggap modern masuk dalam diri manusia Jawa. Manusia Jawa boleh tampil modern dengan bergaya hidup barat, namun jiwa dan hati dia tetaplah manusia Jawa yang menjunjung budaya Jawa.

Penulis: Wisnu Adisukma/Jurusan Seni Rupa/ISI Surakarta

*Tulisan adalah tanggung jawab penulis


Sumber Rujukan

Abdul Azis Said,, 2004,Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja dan Perubahan Aplikasinya pada Desain Modern, Yogyakarta: Ombak.

Ayatrohaedi,, 1986,Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

De Graaf, H.J. , 1987,Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I, Jakarta: Pustaka Grafiti Pers

Gadamer, Hans-Georg,, 2004, Kebenaran dan Metode, terj. Ahmad Sahidah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Geertz, Clifford,, 1973, The Interpretation of Cultures: Selected Essays, New York: Basic Book Inc.

Geertz, Clifford, 1992, Tafsir Kebudayaan.

Yogyakarta: Kanisisus.

Grottaneli, Vinigi l., 1985, “Ornamentation”, Encyclopedya of World Art, Vol. 10 New york: Mcgraw-Hill.

Guntur, 2004, Studi Ornamen Sebuah Pengantar,Surakarta: P2AI bekerja sama dengan STSI Press Surakarta

Hadi Priyanto, dkk,2013,Mozaik Seni Ukir


Jepara.Jepara : Lembaga Pelestari Seni Ukir, Batik, dan Tenun Jepara Pemerintah Kabupaten Jepara.

Hasanu Simon, 2006, Misteri Syekh Siti Jenar: Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ismail Raji al-Faruqi,1999,Seni Tauhid: Esensi dan Ekspresi Estetika Islam, Yogyakarta:

Yayasan Bentang Budaya.

James P. Spradley,1997,Metode Etnografi, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Josef Prijotomo,1988,Ideas and Form of Javanese Architecture, Yogyakarta: Gadjah Mada University.

Koentjoroningrat,     1997,            Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia.

M. Dwi Marianto,2000,Seni Kritik Seni Yogyakarta: Galang Press dan Yayasan Adhikarya untuk Pusat Penelitian Kebudayaan dan Perubahan Sosial, Universitas Gadjah Mada.

M. Soerjani dan Bahrain Samad (ed.) Manusia dalam keserasian Lingkungan¸ Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi U.I, 1983

Miles Matthew dan Michael A. Huberman,1992, Analisis Data Kualitatif. Jakarta. Universitas Indonesia.

Norman K. Denzin dan Yvonna S.L,2009,Handbook of Qualitative Research,Yogyakarta: Pustika Pelajar.

Panitia Penyusunan Hari Jadi Jepara, Sejarah dan Hari Jadi Jepara, Jepara: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Jepara, 1988

Slamet Supriyadi, dkk, “Seni Ukir Macan Kurung Di Dukuh Belakang Gunung, Desa Mulyoharjo Kabupaten Jepara” Jurnal Imaji, Vol. 4, nomor 1, Januari 2008.

Soedarso Sp., 1987, Tinjauan Seni Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni, Yogyakarta: Saku Dayar Sana.

Sitisoemandari Soeroto, 1979, Risalah dan Kumpulan Data Tentang Seni Ukir Jepara, Jepara: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Jepara.

Sumadi Suryabrata, 2012, Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Suwardi Endraswara, 2006,Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan: Idiologi, Epistimologi dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widya.

Syafii dan Tjetjep Rohendi Rohidi, 1987, Ornemen Ukir, Semarang: IKIP Semarang Press.

Tjetjep Rohendi Rohidi, 1993, “Ekspresi Seni Orang Miskin”, Disertasi Doktor Antropologi Universitas Indonesia Jakarta.

Umar Kayam, 1981, Seni Tradisi Masyarakat, Jakarta: Sinar Harapan.

Wiyoso Yudoseputro, 2008, Jejak-jejak Tradisi Bahasa Rupa Indonesia Lama, Jakarta: Yayasan Seni Visual Indonesia.

Sumber Internet

Chalyary.“Macan Kurung – Sejarah Kejayaan Ukiran Jepara”.Dalam (http://www. ukiranjepara.net/artikel/macan-kurung- sejarah-kejayaan-ukiran-jepara/).Diakses pada 16 Pebruari 2017.

Adi Prasetijo “Konsep Kebudayaan Menurut Geertz”.Dalam (http://etnobudaya. net/2008/04/01/konsep-kebudayaan- menurut-geertz/) Diakses pada 27 Oktober 2016.

Kumpulan Lukisan Johannes Rach, dokumen Perpustakaan Nasional, kode cantuman: 20055211223, melalui www.pnri.go.id, Diakses tanggal 27 Juli 2017

 

Komentar