Info Peduli Jepara |
Masuk dan berkembangnya Islam di
Nusantara memilki tipologi tersendiri. Tipologi inilah yang membedakan Islam
masuk ke wilayah Nusantara dengan wilayah lainnya. Eropa, misalnya, masuk dan
berkembangnya Islam di Eropa melalui kontak senjata, sehingga Islam di Eropa
dipandang sebagai sebuah ajaran yang mengajarkan kekerasan.
Berbeda dengan wilayah Nusantara,
yang begitu lama bergelut dengan budaya Hindu Budha memungkinkan terjadinya
benturan budaya dengan kedatangan Islam. Karena memang, Islam masuk ke
Nusantara tanpa melalui kontak senjata.
Benturan budaya ini mengakibatkan
munculnya berbagai ekspresi dakwah para pembawa Islam. Di antarnya adalah
ekspresi seni sastra dalam dakwah Walisongo di Jawa. Salah satu bentuk ekspresi
tersebut adalah syair-syair.
Syair-syair ciptaan Walisongo ini
memainkan peran penting di dalam penyebaran Islam di tanah Jawa. Syair-syair
ini pula memudahkan para pendakwah di dalam mengajarkan Islam kepada para pemeluk
Hindu Budha. Para penyebar Islam betul-betul memanfaatkan syair-syair sebagai
media dakwah.
“Syair-syair ini pula
menjadi bentuk kebudayaan dan ekspresi seni sastra Islam di Nusantara.Sehingga,
syair-syair tersebut merupakan bukti dan peninggalan para Walisongo, salah
satunya adalah Sunan Kalijaga”.
Salah satunya adalah syair Lir-Ilir. Sampai
hari ini, kedua syair peninggalan Sunan Kalijaga ini masih eksis. Tidak heran
jika banyak anak kecil dan orang-orang tua di Indonesia–khususnya–hafal kedua
syair tersebut. Adanya kedua syair ini telah merepresentasikan ekspresi seni
sastra Islam di Nusantara.
Makna Syair Lir-Ilir
Sunan Kalijaga menciptakan
tembang Lir-Ilir pada abad 15-16 M dengan mengandung nilai luhur,
moral, budi pekerti sesuai syariat Islam. Syair Lir-Ilir menggunakan
bahasa Jawa yang terdiri dari empat bait dengan tiga sampai empat baris di
setiap baitnya. Masing-masing baris mengandung suatu pesan yang mendalam
berkaitan dengan nilai-nilai yang diperlukan untuk menciptakan susunan
masyarakat yang baik dan bermartabat.
Maisng-masing baris saling
sambung menyambung hingga menciptakan pemahaman dalam satu syair. Lagu Lir-Ilir diciptakan
oleh Sunan Kalijaga guna memberikan rasa optimis kepada seseorang yang sedang
melakukan amal kebaikan, amal itu berguna untuk besok pada hari akhir.
Kesempatan hidup di dunia harus
dimanfaatkan untuk berbuat kebaikan bukan untuk membunuh sesama karena segala
perbuatan akan mendapatkan alasannya. Berikut Tembang jawa Lir-Ilir.
Lir-ilir, Ilir-ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar
Cah angon, cah angon
Penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro, dodotiro
Kumitir bedah ing pinggir
Dondomono, jlumatono
Kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Yo sorako,
sorak iyo !
Tembang Lir-Ilir di
atas, memiliki makna yang cukup mendalam yang akan dijelaskan berikut ini:
Lir-ilir, Ilir-Ilir (Bangunlah,
bangunlah). Tandure wus sumilir (Tanaman sudah bersemi). Tak ijo
royo-royo (Demikian Menghijau). Tak sengguh temanten anyar (Bagaikan
Pengantin baru)
Bait ini mempunyai makna
bahwasanya kita disuruh untuk bangun dan sadar akan agama Islam yang
benar. Tandure wis sumilir mengandung maksud benih yang ditanam sudah
mulai tumbuh. Yang dimaksud benih disini adalah iman. Apabila benih iman
dirawat dengan baik maka akan tumbuh subur. Sebaliknya jika tidak dirawat maka
benih iman itu akan rusak dan mati.
Tak Ijo Royo-royo, Tak sengguh
temanten anyar mengandung maksud benih seseorang yang yang dirawat dengan
baik akan menghasilkan seseorang muslim yang baik pula, diibaratkan seperti
kebahagian pengantin baru.
Cah angon, cah angon (Anak
gembala, anak gembala). Penekno blimbing kuwi (panjatlah pohon
blimbing itu). Lunyu-lunyu penekno (walaupun licin tapi
panjatlah). Kanggo mbasuh dodotiro (Untuk membasuh pakaianmu)
Bait syair ini mempunyai makna
yakni cah angon yang dalam bahasa Jawa diartikan sebagai orang yang
menggembala hewan ternak. Cah angon disini diartikan sebagai yang menggembala
nafsu-nafsu diri sendiri. Apabila nafsu tidak digembala dengan baik maka bisa
merusak diri sendiri. Melakukan maksiat dengan seenaknya karena tidak digembala
dengan baik.
Penekno Blimbing Kuwi perintah memanjat buah belimbing karena pada
umunya buah belimbing mempunyai segi mencuat berjumlah lima yang dijadikan
lambang rukun Islam. Lunyu-lunyu Penekno, bermakna meskipun licin,
meskipun susah kita harus tetap memanjat pohon belimbing tersebut dalam arti
sekuat tenaga kita tetap berusaha Kanggo Mbasuh Dodotiro, artinya
untuk mencuci pakaian kita yaitu pakaian taqwa.
Dodotiro, dodotiro (pakaianmu-pakainmu). Kumitir
bedah ing pinggir (terkoyak di bagian samping). Dondomono,
jlumatono (Jahitlah, benahilah). Kanggo sebo mengko sore (untuk
menghadap nanti sore)
Dodot di sini diartikan
sebagai agama atau akhlak. mengisyaratkan bahwa kita dituntun untuk
menyempurnakan agama atau akhlak dengan keimanan dan ketakwaan. Kata Dondomono
Jlumatono ini berarti seseorang harus merajut, menyulam apa yang telah
rusak tersebut untuk segera diperbaiki agar sempurna.
Kata mengko sore mengisyaratkan
sebagai waktu hidup kita di dunia yang sebentar. Selagi masih diberi waktu
bernapas dan masih ada kesempatan bertaubat, harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Mumpung padhang rembulane (mumpung
rembulan masih terang). Mumpung jembar kalangane (mumpung banyak waktu
luang). Yo surako surak iyo (Bersoraklah dengan sorakan Iya).
Penggalan lanjutan tembang ini
memuat pesan agar setiap manusia jangan menunda-nunda waktu selagi muda dan
sehat. Di saat masih ada kesempatan dan waktu yang panjang untuk mendekatkan
diri dengan beribadah kepada Allah, teruslah lakukan dan dijaga semaksimal
mungkin.
Yo surako surak hiyo menggambarkan
perasaan seseorang yang sedang senang, bahagia serta rasa syukur kepada Allah.
Yakni Cah angon yang telah melaksanakan perintah Penek-en klimbing kuwi dengan
baik, untuk bahagia. Karena akan memperoleh pahala yang berupa surga.
Kontak budaya yang terjadi di
dalam Islam ala Nusantara tidak bisa dimungkiri. Syair Lir-Ilir karya
sunan Kalijaga tersebut menjadi bukti bahwa ekspresi seni sastra dalam dakwah
Walisongo dapat kita lihat bersama.
Syair tersebut bukan hanya untuk
dilantunkan saja, keduanya memiliki makna yang dalam. Metode syair ini
dimanfaatkan betul oleh Sunan Kalijaga sebagai metode di dalam berdakwah.
Sampainya syair Lir-Ilir kepada
kita merupakan sebuah bukti bahwa penyebaran Islam di Nusantara–Jawa khususnya,
tidak melalui wasilah kontak senjata. Pelajaran yang dapat kita ambil adalah
Walisongo telah mengajarkan dakwah dengan cara pendekatan budaya, Sunan
Kalijaga, misalnya, menggunakan pendekatan syair.
Ini merupakan kritik keras
terhadap para pendakwah hari ini yang menggunakan metode sok paling
bener sehingga mengkafirkan–atau apa pun sebutannya–kelompok di luar
dirinya. Yuk, dakwah Islam ramah bukan marah. Merangkul bukan memukul. Mengajak
bukan mengejek. Walisongo telah mencontohkan, tugas kita adalah
melanjutkan. (atk)
Penulis: Abdus Salam
Sumber artikel: alifid
Komentar
Posting Komentar