![]() |
Info Peduli Jepara |
Masjid Mantingan letaknya 5 KM ke
arah selatan dari kota Jepara, terletak di desa Mantingan, Kecamatan Tahunan
Kabupaten Jepara. Masjid ini didirikan tahun 1481 Saka atau tahun 1559 M atau
966 H. Tahun tersebut berdasarkan petunjuk dari condro sengkolo yang terukir
pada mihrab Masjid Mantingan berbunyi rupo brahmana wanasari.
Menurut HJ Degraaf dan TH Pigeaud
tahun 1559 adalah periode setelah meninggalnya Pangeran Prawata dan Ki
Kalinyamat (Sunan Mantingan), termasuk periode kekuasaan Ratu Kalinyamat di Jepara.
Pangeran Hadirin atau Ki Kalinyamat ini meninggal tahun 1549.
Masjid ini memiliki fungsi untuk
menyebarkan Islam dan pertahanan spiritual rakyat kraton Jepara yang diperintah
Ratu Kalinyamat, untuk memperkokoh kraton Jepara saat itu.
Dari Mantingan ini pula, pusat
ukir-ukiran mula-mula diajarkan yang sekarang menjadi tradisi ukir di Jepara,
dengan pengajarnya patih Jepara sendiri, seorang China dengan gelar Patih
Sungging Bandar Duwung.
“Sejarahnya bermula
saat kraton Jepara yang dipimpin oleh Ratu Kalinyamat dan Pangeran Hadirin,
mengangkat patih Jepara dari China, yang bernama Tjie Hwio Gwan bergelar
Patih Sungging Bandar Duwung, seorang ahli ukir.”
Versi tutur, orang ini adalah
ayah angkat Pangeran Hadirin ketika ia mukim di Cina. Sebelum ke China Pangeran
Hadirin sendiri bernama R. Thoyib, anak dari Sultan Mughayat Syah Aceh
(1514-1528 M). Ketika berkelana ke China, R. Thoyib diangkat anak oleh Tjie
Hwio Gwan, dan namanya berganti Win-Tang (ejaan Jawa untuk Tjie Bin Thang).
Ketika melakukan perjalanan dagang dan dakwah, dia terdampar di Jepara karena
kecelakaan laut.
Di Jepara dia mengabdi
pada Kraton Jepara dan sampai diambil suami oleh Ratu Kalinyamat.
Sementara versi HJ de Graaf, hanya menyebutkan dia sebagai keturunan Cina
bernama Win Tang, tanpa menyebut hubungan dengan Aceh.
Setelah Pangeran Hadirin
meninggal tahun 1549 M karena dibunuh oleh orang-orang Arya Penangsang, Ratu
Kalinyamat melakukan topo broto dengan gentur. Orang-orang terdekat dan para
kestaria yang masih berhubungan dengan Demak dari trah Sultan Trenggono,
termasuk Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir yang menjadi adik ipar Ratu
Kalinyamat) dari Pengging berinisiatif membantu.
Joko Tingkir dibantu Ki Penjawi,
Ki Gede Pemanahan, Ki Juru Martani dan Sutawijaya/Senopati (anak Ki Gede Pemanahan),
sehingga berhasil menyingkirkan Arya Penangsang (adipati Jipang), yang
merupakan murid Sunan Kudus itu. Karena keberhasilannya, Ki Gede Pemanahan
diberi bumi Mentaok di Kotagede; dan Ki Penjawi diberi tanah Pati.
Setelah kematian Pangeran Hadirin
itu, sembari memangku sebagai penguasa Jepara, Ratu Kalinyamat gentur bertapa
dan zikir. Tepat 10 tahun setelah meninggalnya sang suami, Ratu Kalinyamat
bertekad membangun masjid, yang menjadi pusat penyebaran Islam di bagian
pesisir Jawa Tengah.
Posisi masjid (dan pemakaman) ada
di atas bukit dengan dihiasi ornamen ukiran Jepara, yang terbuat dari batu
putih, diperindah dinding berrelief bundar bujur sangkar, dengan motif ukiran
bunga teratai dan hewan yang disamarkan. Atapnya model tumpang, seperti dalam
bangunan sebelum Islam.
Dilengkapi dengan bedug lama dan
kendi berisi air di depan masjid, warga sekitar dan pengunjung mempercayai air
tersebut mengandung berkah apabila diminum. Gerbang masuk ke area ini,
menggunaka model gerbang candi zaman sebelum Islam, dengan tulisan syahadat.
Ratu Kalinyamat ini adalah anak
Sultan Trenggono dari Demak dengan nama Retno Kencana. Silsilah yang
dicantumkan di Pemakaman Mantingan, menyebutkan bahwa saudara-saudaranya adalah
Sunan Prawata (ayah Arya Pangiri), putri istri adipati Madura, Ratu
Kalinyamat, putri istri Pangeran Hasanudin Banten, putri istri Joko Tingkir
yang kemudian melahirkan Pangeran Benawa, dan seorang putri istri adipati
Madiun.
Ratu Kalinyamat ini menjadi tokoh
penting di kekuasaan laut Pantai Utara Jawa Tengah dan Jawa Barat pada abad
XVII. Dia dikenal bukan hanya karena menjadi sesepuh keluarga ksatria Demak
setelah meninggalnya Sultan Trenggono dan Sunan Prawata (anak laki-laki Sultan
Trenggono).
“Sebutan Kalinyamat
merujuk pada ibukota Pelabuhan Jepara, yang juga terdapat kratonnya, yang dulu
dikendalikan oleh penguasanya yang terkenal bernama Pati Unus yang menyerang
Portugis di Malaka.”
Di bawah kekuasanan Ratu
Kalinyamat yang menggantikan kepahlawanan Pati Unus yang terkenal itu, Jepara
terlibat dalam penyerangan terhadap Portugis di Malaka, sampai tiga kali, yaitu
pada tahun 1512-1513, 1551 dan 1574. Meski serangan itu mengalami kekalahan
sebagaimana juga Pati Unus yang menyerang Portugis, tapi kepahlawanan Ratu
Kalinyamat ini dikenal dan dihormati para penguasa di daerah-daerah pada saat
itu.
Setelah kematiannya pada sekitar
1579 dan dimakamkan di Mantingan dekat suaminya, Jepara diperintah oleh
Pangeran Jepara, anak angkatnya anak dari putra Ratu Ayu Kirana (adik Sultan
Trenggana), dan Ayah Pangeran Arya Jepara ini adalah Maulana Hasanuddin (Raja
Banten).
Saat ini masjid peninggalan Ratu
Kalinyamat ini masih terlihat klasik dan hanya sedikit dilakukan pelebaran di
bagian utara masjid pada tahun 2005 karena banyaknya jumlah pengunjung. Di sisi
masjid adalah pemakaman Mantingan, yang banyak diziarahi orang, di antaranya
yang dimakamkan adalah Sunan Mantingan Pangeran Hadirin, Ratu Kalinyamat, dan
para orang terdekat Ratu Kalinyamat.
Museum kecil dengan ukiran marmer
putih seperti yang ada di dinding masjid, menambah keindahan dan kenangan
sejarah tentang eksistensi masjid Mantingan sebagai pusat dakwah Islam di
Jepara saat itu.
Penulis: Nur Khalik Ridwan
Sumber artikel: alifid
Komentar
Posting Komentar