Info Peduli Jepara - Perang Obor Tegalsambi |
Paradigma pemikiran satu generasi
ke generasi berikutnya mengalami perkembangan dan penurunan yang disebabkan
oleh berbagai faktor, di antaranya dipengaruhi oleh kemajuan IPTEK yang sangat
pesat. Dalam hal ini adalah cara pandang masyarakat terhadap local
wisdom (kearifan lokal) juga mengalami pergeseran. Perang Obor adalah
salah satu kearifan lokal yang memadukan “kejawen” dan ajaran “islam”, atau
kerap disebut sinkretisme. Tradisi ini diturunkan dari generasi ke generasi
tanpa bertanya mengapa dan bagaimana (taken for granted), karena dianggap
terhubung dengan yang transendental.
Hal-hal yang transendental
biasanya dilambangkan dengan simbol. Simbol dibuat untuk melakukan
kongkretisasi terhadap sesuatu yang abstrak dari sesuatu yang dianggap
transenden. Dalam pengertian ini, simbol harus dianggap sebagai pancaran dari
suatu realitas ideal yang transenden. Dalam Bahasa agama, yang transenden itu,
umumnya diperkenalkan dengan Tuhan. Dalam pengertian ini, simbol diperlukan
mengefektivitaskan sesuatu agar yang abstrak mampu dikongkretisasi. Lawan dari
transenden adalah imanen yakni hal-hal yang profane (lihat, lyceum.id, oleh
Cecep Sumarna). Menurut Ernst Cassirer cenderung menyebut manusia sebagai
makhluk yang menangani simbol-simbol (animal symbolicum). Lebih lengkap baca
Paul Ricouer (1913-2005) Filsuf semiotika dan simbol.
Perang obor merupakan puncak dari
rangkaian ritual, yang sebelumnya ada ritual lainnya yaitu ziarah ke makam
leluhur dan memberikan sesejen yang sangat kompleks dan disertai kepala kerbau.
Di dalam sesajen terdapat berbagai makanan yang di hadiahkan kepada para roh
yang tiap-tiap makananya merupakan simbol yang penuh bermakna. Dengan sesaji
tersebut mereka mengharapkan para leluhur senang terhadap apa yang mereka
sajikan. Sehingga rezeki mereka bisa melimpah dan panen yang banyak. Perang
obor identik dengan sedekah bumi, mereka bersyukur atas segala nikmat yang
mereka dapatkan selama setahun. Segala apa yang tumbuh di atas bumi mereka bisa
menikmatinya. Bersyukur kepada Gusti Pengeran ingkang Maha Kuasa atas
segalanya. Bentuk ekspresi rasa syukur yang unik ini berbalut dengan
kepercayaan Hindu-Budha.
Perang obor yang diwarisi dari
nenek moyang menggunakan bahan baku blarak (daun kelapa kering) dan
tengahnya disisipi klaras (daun pisang kering). Mereka memukulkan
blarak yang telah dinyalakan dengan api ke arah lawannya dengan syarat tidak
boleh ke badan lawan. Pesertanya adalah laki-laki yang minimal telah berusia 17
tahun warga setempat. Tradisi ini masih dipertahankan meskipun mereka sudah
tidak lagi mengandalkan hasil bumi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Mereka lebih banyak ke seni ukir, wiraswasta dan merantau ke Ibu kota. Tradisi
perang obor semakin diminati oleh berbagai kalangan karena unik dan
menghibur.
Perang obor menjadi semacam
pertunjukan atraksi yang memukau. Ratusan hingga ribuan masyarakat berdatangan
berjajar di sepanjang jalan tempat diadakannya parang obor tersebut. Para
penonton bersorak ramai menyemangati para pemain. Sesekali para penonton
berteriak ketakutan saat semburat api sampai ke pinggiran jalan. Para wisatawan
mancanegara dan lokal yang singgah di Laut Bandengan juga ikut menyaksikannya.
Satuan polisi Jepara juga
dikerahkan untuk menertibkan dan mengamankan para penonton yang begitu banyak.
Selain itu juga telah disiap-siagakan mobil ambulan dan pemadam kebakaran di
lokasi. Masyarakat setempat dan para penonton lainnya lebih menikmati
pertunjukannya ketimbang makna dari perang obor. Dari sini perang obor bermakna
sebagai seni pertunjukan dan hiburan.
Makna lainnya adalah semangat
ekonomi masyarakat setempat. Mereka membuka lahan parkir dan sekaligus tarif
masuk ke arena perang obor. Mereka telah mempersiapkan panitia parkir untuk
meminjam lahan warga dan memberdayakan masyarakat setempat untuk menjadi juru
parkir. Penghasilan dari parkir ini lumayan banyak, mereka membaginya secara
rata kepada para anggota dan sebagian untuk membayar sewa lahan parkir. Di pinggir-pinggir
jalan diramaikan oleh para penjual aneka makanan dan minuman (mremo) dalam
bahasa jawa. Mereka menjual makanan dan minuman dengan harga yang relatif
tinggi dengan harga biasanya. Sehingga masyarakat setempat mendapatkan income lebih
dari terlaksananya perang obor tersebut. Politisi juga ikut mendukung dan
meramaikan acara perang obor.
Secara tidak langsung, mereka
turut serta berkampanye kepada masyarakat untuk mendukungnya. Terlihat di
tepi-tepi jalan ada gambar para politisi dan ikut menjadi peramai acara perang
obor. Para tokoh masyarakat juga turut memberikan sumbangan yang cukup demi
terlaksananya acara perang obor, karena perang obor membutuhkan dana yang
relatife mahal, untuk membeli sesaji-sesaji kerbau dan manganan.
Jika masyarakatnya tidak solid
maka akan berdampak tidak maksimalnya kegiatan tersebut. Nilai-nilai ajaran
Islam juga lebih tampak, yaitu lebih menonjolkan rasa syukur kepada Allah dari
pada menyandarkan sesajen kepada roh nenek moyang mereka. Generasi milenial
masyarakat setempat lebih mengutamakan kebersamaan dari pada makna dari ritual
tersebut.
Dari uraian di atas disimpulkan
bahwa terjadi pergeseran makna dan tujuan dari tradisi perang obor. Awalnya
perang obor adalah suatu yang bersifat transendental, supranatural dan sacred
dengan menggunakan simbol-simbol yang penuh dengan makna. Bergeser menjadi
sesuatu yang imanen dan profane, berkenaan dengan hal yang empiris. Bahkan
beralih makna karena faktor kepentingan. Bagaimanapun itu tradisi perang obor
perlu diberi apresiasi yang tinggi, karena telah mempertahankan (nguri-nguri)
tradisi, sehingga generasi-genrasi selanjutnya tahu dan dapat menikmatinya.
Penulis: Faizatun Khasanah
Komentar
Posting Komentar