![]() |
Info Peduli Jepara |
Rainha de Japara, senhora
poderosa e rica (Ratu Jepara, perempuan kaya dan punya kekuasaan besar).
Demikian seorang Portugis, Diego de Couto, menggambarkan sosok Ratu Kalinyamat.
Nama aslinya Retna Kencana.
Sebutan sebagai Ratu Kalinyamat disematkan padanya setelah menikah dengan
Pangeran Kalinyamat atau Sultan Hadiri.
Mengenai sosok Pangeran
Kalinyamat, dia adalah Pangeran Toyib, putra Sultan Munghayat Syah, Sultan Aceh
pada 1496-1528. Pangeran Toyib berkelana ke Tiongkok, dan diangkat anak oleh
Tjie Hwio Gwan, dengan nama angkatnya Tjie Bin Tang yang dalam ejaan Jawa
menjadi Win-tang. Diceritakan bahwa Win-tang dan ayah angkatnya pindah ke Jawa.
Di tempat barunya, Win-tang berhasil mendirikan wilayah Kalinyamat, sehingga
dia pun dikenal sebagai Pangeran Kalinyamat.
Babad Tanah Jawi versi W.L.
Olthof mengabarkan bahwa Ratu Kalinyamat adalah keturunan dari Sri Sultan
Demak, yaitu Sultan Trenggana, yang memiliki enam anak. Anak pertama, perempuan
yang dinikahkan dengan Pangeran Langgar putra Ki Ageng Sampang. Kedua, Pangeran
Prawoto. Ketiga, perempuan dinikahkan dengan Pangeran Kalinyamat. Keempat,
perempuan dinikahkan dengan Pangeran Cirebon. Kelima, perempuan dipersunting
Jaka Tingkir. Dan terakhir, Pangeran Timur.
Berdasarkan sumber tersebut
diketahui kalau Retna Kencana adalah anak ketiga Sri Sultan Demak yang menikah
dengan Pangeran Kalinyamat. Setelah menikah, dia kemudian disebut sebagai Ratu
Kalinyamat.
Tapa Wuda Sinjang Rambut
Pada 16 M, di Jawa terjadi
gejolak politik yang sangat panas antara 3 murid terkemuka Sunan Kudus, yaitu
Arya Panangsang, Sunan Prawoto, dan Sultan Pajang (Jaka Tingkir).
Sunan Prawoto dibunuh oleh Arya
Panangsang. Tidak terima atas kematian kakaknya, Ratu Kalinyamat pun menghadap
Sunan Kudus untuk meminta keadilan. Namun, sang ratu tidak mendapatkan apa yang
diharapkannya. Babad Tanah Jawi menggambarkan kalau Sunan Kudus
agaknya membela Arya Panangsang. Katanya bahwa Sunan Prawoto punya utang nyawa,
sebab ayah Arya Panangsang, Pangeran Sedo Lapen, dibunuh oleh Sunan Prawoto,
maka ada dendam darah di antara keduanya.
Ratu Kalinyamat kembali dengan
perasaan sedih. Di tengah perjalanan pulang terjadi tragedi. Mereka dihadang
utusan Arya Panangsang yang kemudian membunuh Pangeran Kalinyamat. Sang ratu
amat terpukul atas peristiwa dibunuhnya kakak dan suaminya.
Ratu Kalinyamat pun melakukan
tapa di Gunung Danaraja. Dia berniat tidak akan berhenti dari tirakatnya selama
Arya Panangsang masih hidup. Dan, jika ada yang berhasil membunuh Arya
Panangsang, maka dia akan suwita (wilayah kekuasaan sang ratu tunduk di bawah
otoritas orang itu) serta juga akan memberikan seluruh harta benda kekayaannya.
Arya Panangsang dikenal sangat
sakti. Bahkan, Sultan Pajang alias Jaka Tingkir, adik ipar Ratu Kalinyamat,
orang yang digadang-gadang punya kehebatan setara dengan Arya Panangsang, pun
enggan bertarung langsung dengannya. Meski demikian, Ratu Kalinyamat tidak
lantas pasrah, dan tetap memilih melakukan perlawanan, walau dengan cara tidak
berhadapan langsung dengannya. Tapa Ratu Kalinyamat adalah bentuk amuk sang
ratu untuk mendapatkan keadilan.
Arya Panangsang gugur sebab masuk
jebakan pengikutnya Sultan Pajang, yaitu Ki Panjawi dan Ki Pamanahan. Atas jasa
kedua orang itu, maka sang sultan menghadiahkan tanah Pati kepada Ki Panjawi
dan Mataram untuk Ki Pamanahan. Di kemudian hari, Mataram menjadi kerajaan
besar yang menguasai hampir seluruh tanah Jawa.
Hal yang agak kontroversi dari
sejarah laku tapa Ratu Kalinyamat, adalah konon dirinya melakukan tirakat
dengan bertelanjang. Babad Tanah Jawi menjelaskan: “Ratu Kalinyamat
berprasetia tidak mau memakai kain selama hidup jika Arya Panangsang belum
meninggal.” Dia menguraikan rambut panjangnya ke seluruh tubuh sebagai ganti
kain. Sehingga, tirakat ini dikenal dengan tapa wuda sinjang rambut (tapa
telanjang dengan rambut panjang).
Babad Tanah Jawi juga
menggambarkan kalau tapa ini dilakukan ratu di tempat tertutup yang hanya bisa
dimasuki oleh pembantunya yang perempuan. Karenanya, sewaktu Sultan Pajang
bersama pengikutnya mengunjungi sang ratu di Gunung Danaraja, diceritakan
mereka semua hanya bisa berbicara dengan Ratu Kalinyamat dari luar ruangan.
Cerita-cerita rakyat setempat
juga menggambarkan laku tirakat sang ratu sebagai tapa wuda sinjang
rambut. Kata wuda (telanjang) sering dimaknai secara literal
(seperti contoh penjelasan dalam Babad Tanah Jawi), sehingga kesan yang
berkembang adalah Ratu Kalinyamat melakukan tirakat benar-benar dengan tanpa
sehelai kain pun di tubuhnya.
Penelitian Nur Said dalam
jurnalnya Spiritualitas Ratu Kalinyamat: Kontroversi Tapa Wuda Sinjang
Rambut Kanjeng Ratu di Jepara Jawa Tengah, menarik untuk dicermati.
Dijelaskan bahwa kata wuda seharusnya tidak dimaknai secara lugas
dengan arti telanjang, melainkan sebagai suatu kiasan yang mesti ditafsirkan.
Sebab, kebiasaan para pengarang naskah-naskah sejarah tradisional Jawa sering
menggunakan lambang dan kiasan. Kebiasaan itu terkait erat dengan sifat orang
Jawa yang suka dengan olah rasa.
Ini sejalan dengan penjelasan
Kiai Hadisiswaya (sebagaimana dikutip Nur Said): “Bagi orang tua zaman kuno,
sekiranya diceritai, diajar barang-barang yang jelas, terang-terangan, hal itu
tidaklah senang. Kesenangannya mengenai perasaan, barang-barang yang bisa
memecahkan pikirannya…. Oleh karenanya semua cerita orang tua dan ajarannya
yang termuat dalam peninggalannya dalam buku-buku, kitab-kitab, itu semua
berisi kiasan dan perlambang.”
Tapa wuda sinjang rambut Ratu
Kalinyamat lebih tepat dimaknai sebagai tirakat dengan menanggalkan segala
bentuk urusan keduniaan, melepaskan mahkota ratunya, kemudian menyendiri di
Gunung Danaraja, mencari keheningan dan memohon petunjuk kepada Sang Maha Kuasa
untuk mendapatkan keadilan.
Jadi pakaian yang ditanggalkan
bermakna hasrat keduniaan–kemewahan hidup, keserakahan, dan sejenisnya–semua
ditelanjangi (ditinggalkan), dan ditutup dengan rambut terurai di seluruh tubuh
yang bermakna hasrat duniawi berganti dengan kepasrahan diri di hadapan Tuhan.
Tapa Ratu Kalinyamat adalah
bentuk protes atas amat terlalunya ketidakadilan yang terjadi di tanah Jawa
waktu itu. Arya Panangsang menjadi simbol atas kezaliman yang dirasakan ratu.
Setelah dirinya mencari-cari
keadilan, bahkan sudah menghadap ke Sunan Kudus, namun tetap juga tidak
mendapatkan bantuan. Maka, pada siapa lagi tempat mengadu jika seluruh manusia
tiada yang bisa membantu?
Kesunyian tirakat pun menjadi
pilihannya. Menanggalkan segala hal duniawi dan lebih mendekat pada Tuhan.
Ratu Kalinyamat mengajarkan bahwa
perlawanan atas kezaliman tidak selalu melulu dengan berperang secara frontal.
Namun, memasrahkan diri pada pertolongan Tuhan yang Maha Kuasa juga bagian dari
upaya mencari sebuah keadilan.
Melawan Penjajah Portugis
Setelah Arya Panangsang wafat,
dia menyudahi tirakatnya. Sekitar 1549, Ratu Kalinyamat kemudian dinobatkan
sebagai penguasa Jepara menggantikan posisi suaminya. Dia memimpin Jepara
hingga mangkat pada 1579.
Dalam bukunya Adi P. Talango
berjudul Sosok-sosok Hebat di Balik Kerajaan-kerajaan Jawa, dijelaskan
bahwa sejak sebelum menjadi penguasa Jepara, Ratu Kalinyamat sudah anti
Portugis. Dia sangat mencintai negerinya, sehingga meski nyawa menjadi taruhan
tidak akan menyerahkan diri atau bergabung dengan Portugis.
Ratu Kalinyamat tidak suka dengan
penjajahan (ketidakadilan). Tercatat selama menjadi penguasa Jepara, ratu dua
kali mengirimkan pasukan ke Malaka untuk melawan Portugis, yaitu pada 1550 dan
1574.
Pada 1550, Sultan Johor memohon
bantuan pasukan kepada Ratu Kalinyamat. Permintaan ini dijawab sang ratu dengan
mengirimkan 4.000 tentara Jepara yang berangkat dengan 40 kapal.
Dan, pada 1573, Sultan Aceh
meminta bantuan Ratu Kalinyamat untuk menyerang kembali Portugis di Malaka.
Sang ratu mengirimkan 300 kapal berisi 15.000 prajurit. Namun, sayangnya
pasukan yang dipimpin oleh Ki Demang Laksamana (Quilidamao) ini baru bisa tiba
di Malaka pada Oktober 1574, padahal ketika itu Aceh sudah dipukul mundur oleh
Portugis. Keterlambatan ini sangat menguntungkan penjajah, sehingga membuat
upaya Jepara dan sekutu untuk mengusir Portugis di Malaka kembali gagal.
Selain dua peperangan tersebut,
Ratu Kalinyamat juga pernah sekali mengirimkan bantuan pasukan ke Hitu di
Maluku pada 1565. Hal itu merupakan upaya untuk melawan penjajahan yang
dilakukan Portugis.
Meski pasukannya gagal mengusir
penjajah Portugis, namun harus diakui kalau Ratu Kalinyamat dengan penuh
keberanian mengirimkan bantuan untuk membantu mengusir penjajah di tanah
Nusantara. Ini merupakan bentuk sikap sang ratu dalam melawan kezaliman dan
ketidakadilan.
Penulis: Moh. Rivaldi Abdul
Sumber artikel: alifid
Komentar
Posting Komentar