![]() |
Info Peduli Jepara |
Ratu Kalinyamat, kemasyhurannya
bergema dan terekam dalam kitab-kitab bangsa seberang. Penulis berkebangsaan
Portugis Diego De Conto menjuluki Sang Ratu sebagai “Rainha de Jepara senhora
Poderosa e rice”. Artinya kira-kira “Ratu Jepara yang gagah, berani dan
berkuasa”. Ratu Kalinyamat adalah tokoh wanita Indonesia yang penting
peranannya pada abad ke-16. Ia menjadi tokoh sentral yang menentukan dalam
pengambilan berbagai keputusan. Selama 30 tahun berkuasa, dia telah berhasil
membawa Jepara pada puncak kejayaannya.
Sejak terjadinya konflik
perebutan tahta di Demak, tokoh historis legendaris ini muncul dalam panggung
sejarah Indonesia, khususnya sejarah Jawa. Popularitasnya jauh melebihi Sultan
Prawata Raja Demak ke empat. Kiprah Sang Ratu dalam menghadapi Portugis
misalnya, memberikan pelajaran tersendiri bagi bangsa ini akan arti persatuan
dan kesatuan. Meski kala itu Pancasila belum lahir sebagai lambang negara,
Bhinneka Tunggal Ika pun belum muncul, namun Ratu Kalinyamat telah
memperlihatkan semangat dan arti sesungguhnya dari semboyan pengikat semua
elemen bangsa yang majemuk ini.
Karena kecerdasannya, sejak masih
gadis dia memperoleh kepercayaan untuk memangku jabatan Adipati Jepara. Kala
itu wilayah kekuasaannya meliputi Jepara, Pati, Kudus,Rembang, dan Blora.Sang
ratu ini lah yang mendirikaan kerajaan kecil di Mantingan, Jepara, Jawa-
Tengah. Walaupun ia seorang wanita, putri Raja Demak ini dapat bersikap jauh
lebih arif dibanding penguasa dan pola pikirnya jauh melampaui zamannya. Ratu
Kalinyamat diperkirakan meninggal pada tahun 1579 disemayamkan di Komplek Makam
Masjid Mantingan, Jepara.
Kata Jepara berasal dari kata
Ujung Para yang kemudian berubah menjadi Ujung Mara lalu mengalami pemendekakan
kata menjadi Jumpara dan akhirnya menjadi Jepara sekarang ini (Lekkerkerker,
1932: 27).
Secara etimologis, kata Ujungpara
jelas berasal dari bahasa Jawa terdiri atas dua kata, Ujung dan Para. Kata
Ujung, bisa berarti “bagian darat yang menjorok jauh ke laut” (Tim Penyusun
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1996: 1097), sedangkan kata
Para, berarti menunjukkan arah. Dengan demikian, jika kedua kata tersebut
digabung akan memiliki arti yakni “suatu daerah yang letaknya menjorok jauh ke
laut”.
Asumsi lain menyatakan, bahwa
kata “para” merupakan kependekan dari kata pepara yang berarti “bebakulan
mrana-mrene”. Dengan demikian, kata Ujung Para dapat diartikan sebagai “sebuah
ujung tempat permukiman para pedagang yang berniaga ke berbagai daerah, dalam
hal ini ada kemungkinan ke berbagai daerah pedalaman di kawasan Kabupaten
Jepara dan sekitarnya” (Panitia Penyusunan Hari Jadi Jepara, 1988: 5).
Dari beberapa alternatif di atas,
kemungkinan pengertian yang terakhir ini dirasakan mendekati kebenaran, karena
sesuai dengan posisi geografis, daerah Jepara yang terletak di daerah
semenanjung. Keberadaannya sebagai kota pelabuhan dan akhirnya menjadi tempat
persinggahan para pedagang dari berbagai penjuru, sudah pasti letaknya harus
strategis dan mudah dijangkau dari berbagai penjuru.
Dalam berita Cina (Groeneveldt,
1960: 275), yang mencatat tentang Indonesia sejak abad VI hingga abad XV, belum
menyebutkan nama Jepara sebagai kota pelabuhan. Walaupun demikian, sumber lain
memperkirakan bahwa sudah sejak zaman Hindu, Jepara menjadi pusat suatu
kerajaan yaitu kerajaan Kalingga (618-906). Disamping itu Jepara pada zaman itu
juga merupakan pelabuhan besar dengan letak yang relatif aman yaitu di sebuah
teluk yang terlindungi oleh beberapa pulau kecil di lepas pantai. Sementara
itu, menurut P.J.Veth, Jepara atau yang dalam bahasa Jawa halus diucapkan
Jepanten, adalah salah satu kota tertua di Jawa tengah yang terkenal (Veth,
1878: 763).
Pandangan tersebut tidak jauh
dari pendapat sejarawan De Graaf yang mengatakan, bawah “Jepara”, “Jung Mara”,
atau Ujung Mara merupakan nama tempat cukup tua sebagaimana sering disebutkan
dalam cerita-cerita tutur. Dugaan ini sesuai dengan Serat Pustaka Raja Purwara
yang menyebutkan bahwa daerah Jepara dan Juwana merupakan daerah kekuasaan
Sandang Garba, rajanya raja para pedagang dan sebagai kota pelabuhan yang ramai
pada abad ke-16 M (Graaf, Pigeaut: 1974).
Jepara sebagaimana dilukiskan
oleh Tome Pires penjelajah Portugis merupakan pelabuhan paling aman untuk
berlabuh dan berlindung kapal-kapal asing. Sebagai teluk dengan pelabuhannya
yang indah, penjelajah ini juga memuji sebagai tempat berlabuh terbaik dari
sekian banyak pelabuhan yang pernah dikunjungi selama perjalanannya di abad
ke-16. Oleh karena itu, pada tahun 1613 Gubernur Jendral VOC, Jan Pieter Both,
mendirikan kantor VOC di Jepara dengan alasan wilayah ini cukup terjaga
stabilitas keamanannya.
Jauh sebelumnya, dalam sejarah
Dinasti Tang (618-906 M) menyebutkan bahwa pada tahun 674 M seorang musafir
Tionghoa bernama I-Tsing pernah mengunjungi negeri Holing atau Kaling atau
Kalingga.
Di Jepara sekarang masih ada
daerah bernama Kecamatan Keling terletak di sebelah timur Jepara. Masyarakat
meyakini Keling adalah nama wilayah dimana Ratu Shima pernah memerintah secara
adil, bijaksana, dan tegas.
*Tulisan adalah tanggung jawab penulis
Penulis: Adhipramana
Komentar
Posting Komentar